“Yah, hujan deh.” Sheila menghela
nafas. Rencana kencannya bersama Andra harus tertunda karena hujan turun tepat
di saat mereka hendak melangkah keluar rumah Sheila.
Andra hanya tersenyum sambil
melihat hujan yang menderas.
“Kok malah senyum-senyum sih, kan
jadi gagal kencan kita,” sungut Sheila.
“Ya mau gimana lagi? Siapa yang
tahu bakal turun hujan? Lagian kamu kelamaan sih dandannya, keburu hujan deh.”
“Kan biar cantik, biar kamu suka
jalan sama cewek cantik.”
“Nggak usah dandan juga udah
cantik kok,” goda Andra.
“Gombal.”
Andra tertawa.
“Terus kenapa tadi senyum-senyum
liat hujan?”
“Suka aja.”
“Apanya? Kan cuma hujan? Kamu pluviophile?”
“Ada yang bilang hujan punya
kemampuan buat menghipnotis manusia untuk me-resonansi-kan ingatan masa lalu.”
“Maksudnya?”
“Ya hujan bisa bikin kita ingat
kenangan masa lalu gitu. Katanya di dalam hujan, ada nyanyian yang hanya bisa
didengar oleh mereka yang rindu.”
Giliran Sheila tertawa. “Hujan
bisa nyanyi? Kata siapa? Ada-ada aja deh”
“Adalah pokoknya.”
“Huuu...”
...
2 tahun yang lalu.
“Masih sakit ndra?”
“Iya, pusing banget Ma.”
“Kita ke dokter aja ya, periksain
kamu?”
“Nggak usah Ma.”
“Nggak usah gimana, udah seharian
kamu sakitnya.”
Andra terdiam sejenak. “Ke tempat
prakteknya om itu aja ma, aduh siapa namanya? Yang deket dari sini.”
“Om Ilham?”
“Aduh lupa namanya, iya kayaknya
yang di depan komplek itu Ma.”
“Iya Om Ilham, dia kan om kamu
sendiri, adiknya Papa, masak lupa sih. Ya udah ayo kita ke sana sekarang.
Siap-siap dulu, mau Mama bantu?”
“Nggak usah ma. Bisa kok Andra”
Mama Andra keluar kamar
Andra. Andra berganti baju dan menyisir
rambutnya yang berantakan karena hanya berbaring di tempat tidurnya seharian.
“Udah siap ndra?”
“Bentar Ma, Andra ganti baju
dulu.”
“Loh itu kan udah ganti? Mau
ganti lagi?”
Andra bergeming, sedikit guratan
heran terlihat di wajahnya.
“Berantakan banget kamu pake
bajunya, itu kancingnya ada yang ketinggalan satu nggak dikancingin, udah
mahasiswa masih kayak anak SD kamu tuh” ucap Mama Andra seraya merapikan pakaian
anaknya.
...
1 tahun yang lalu.
“Halo tante?”
“Iya Sheila.”
“Maaf tante, Sheila denger Andra
sakit ya? Sakit apa tante?”
“...” tidak ada jawaban justru lirih
terdengar isak tangis Mama Andra.
“Tante? Halo? Kenapa tan? Tante
nangis?” Sheila mulai panik, tangannya gemetar memegang ponsel karena gugup
untuk mendengar kabar dari Mama Andra.
“Andra..kata dokter dia positif
mengidap sakit Alzheimer. Kemarin dia sempat nggak ngenalin papanya,” masih
terisak mama Andra berusaha mengabarkan kondisi Andra kepada Sheila.
Sedikit shock, Sheila berusaha
menutupi ketakutan dan kecemasannya agar tak semakin membuat mama Andra
bersedih. “Andra sekarang di mana tante?”
“Dia masih dirawat di rumah
sakit. Besok lusa Tante sama om mau bawa dia pulang.”
...
6 bulan yang lalu.
“Ndra bangun.”
Perlahan Andra membuka matanya,
bangun dari tidurnya.
“halo Sheil.” Senyum mengembang
di wajahnya melihat kekasihnya yang selalu menemani di setiap harinya, meski
kini dia hidup sebagai seorang pesakitan.
“Nih aku bawain sarapan buat
kamu, nasi goreng ala chef Sheila.”
Andra tersenyum. “Makasih ya
Sheil. Mama Papa kemana?”
“Om udah berangkat ke kantor
tadi, Tante lagi nganter Fanya ke sekolah. Cuci muka gih terus gosok gigi,
terus makan nasi gorengnya keburu dingin nih.”
Andra beranjak dari tempat
tidurnya ke kamar mandi.
“Kamu nggak ada kelas hari ini?”
“Nanti siang jam satu ndra, tadi
kelas paginya pak Hermawan kosong sih.”
Andra mengambil nasi goreng yang
telah disiapkan Sheila dalam piringnya.
“Aku makan ya.”
“Selamat makan sayang.” Sheila
mengecup pipi Andra.
Sheila tersenyum menatap Andra
yang tengah menyantap sarapannya. Tetapi senyum itu luntur seiring keluarnya
air mata Andra yang tiba-tiba.
“Andra? Kamu nangis? Kenapa?”
“Aku takut Sheil. Aku takut ini
nanti makin parah.”
Sheila mendadak terbawa haru melihat
Andra yang begitu ketakutan. “Jangan gitu ndra, kamu pasti sembuh, berdoa aja,
sama percaya semua bakal baik-baik aja,” Sheila mencoba menanangkan Andra.
“Nggak mungkin, dokter sendiri
yang bilang penyakit ini mustahil sembuh. Aku nggak punya harapan lagi Sheil.”
Sheila menangis dan memeluk
Andra.
“Kamu lebih baik cari cowok lain.
Yang punya masa depan, yang pasti bisa bahagiain kamu Sheil. 5 tahun lagi
mungkin aku udah nggak kenal kamu, Papa Mama, Fanya, atau bahkan aku nggak tahu
lagi siapa aku sebenernya. Itupun kalau aku masih hidup”
“Cuma sama kamu aku bisa bahagia
ndra, aku mohon bertahanlah, kuatin hati kamu. Sekalipun kamu kehilangan
ingatan tentang aku dan keluargamu, bukan berarti kamu kehilangan kami, kami
bakal selalu ada buat kamu.”
Tak ada lagi kata yang terucap,
semuanya telah terwakilkan oleh air mata.
...
2 bulan yang lalu.
Sheila berjalan agak terburu-buru
menuju rumah Andra. Pagi itu ia mendapat panggilan telpon dari mama Andra. Ia
diberitahu bahwa kondisi Andra semakin parah. Ia kini sama sekali tak mengenali
satu pun anggota keluarganya. Emosionalnya melonjak naik. Ia tak mau didekati
semua orang di rumahnya dan hanya mengurung diri di kamarnya.
Sesampainya di rumah Andra,
Sheila mendapati semua anggota keluarga berkumpul di ruang tengah bersama
seorang dokter. Papa Andra terlibat pembicaraan yang serius dengan dokter Husen,
sedangkan mama Andra menangis di peluk anak bungsunya, Fanya.
“Tante Om, gimana keadaan Andra?”
“Sheila..”sedikit terkejut papa
Andra dengan kehadiran Sheila yang tiba-tiba. Tetapi seperti kehabisan
kata-kata, ia sulit menjawab pertanyaan Sheila. Sedangkan mama Sheila masih
belum bisa menghentikan tangisnya.
“Gimana Om? Di mana dia
sekarang?”
“Dia di kamarnya, tadi pagi dia
mengamuk saat melihat mamanya mengantar sarapan untuknya, dia tak mengenali
kami.”
“Biar saya yang ketemu dia Om.”
“Tapi Sheil, Om takut dia tambah
ngamuk, mungkin dia juga lupa sama kamu.”
“Sheila coba dulu Om.”
“Tapi kamu hati-hati ya Sheila,”
ragu-ragu papa Andra mengijinkan Sheila menemui Andra.
Sedang Sheila berjalan menuju
kamar Andra, Dokter Husen melanjutkan pembicaraannya dengan papa Andra yang
sempat terhenti karena kedatangan Sheila.
“Jadi bagaimana pak? Apa bapak
mengijinkan putra Bapak untuk segera dirawat di rumah sakit? Dia sudah
mengalami kondisi prosopagnosia terhadap keluarganya. Saya khawatir kondisinya
akan makin parah dari sekarang.”
“...”
“Pak?”
“eh, maaf dok...emm, mungkin
baiknya kita lihat dulu, kalau dia masih mengenali Sheila, saya akan meminta
Sheila untuk menemaninya di rawat di sini. Tapi jika nanti sampai akhirnya
tidak ada seorang pun yang ia dapat kenal, bahkan dirinya sendiri, kita bawa
dia ke rumah sakit. Begitu saja?”
“Baik pak.”
Sementara itu di kamar Andra.
Tok. Tok. Tok.
“Ndra? Andra? Ini aku Sheila?”
“Sheila?”
“Iya kamu masih kenal aku?”
“Tentu saja.”
“Boleh aku masuk?”
Andra membuka selot kunci
pintunya.
“Apa maksudmu ‘masih kenal aku’?
Kamu pacarku bagaimana aku bisa lupa?”
Sheila lega mendengarnya. Ia
masuk dengan sedikit waspada. “Aku nanya itu, karena kamu nggak kenal lagi sama
keluargamu.”
“Keluargaku?” Andra kembali
menutup pintu dan menguncinya.
“Iya, keluargamu, orang-orang
yang kau temui pagi ini?”
“Jangan ngelantur, aku baru
bertemu mereka pagi ini. Mereka bukan keluargaku. Mereka seperti orang jahat,
menahanku di ruang ini.”
“Ini kamarmu sendiri ndra,
rumahmu.”
“Jangan bercanda Sheil. Aku tak
pernah berada di sini sebelumnya. Aku tak pernah melihat orang-orang itu. Apa
maksudmu mengatakan mereka keluargaku? dan ini rumahku? Kau bersekongkol dengan
mereka?”
“Ndra kamu lagi sakit ndra, kamu
kehilangan memori kamu tentang keluargamu pagi ini.”
Andra terkejut dengan penuturan
Sheila. Ia seperti tak percaya dengan semua yang dikatakan Sheila tentang
keluarga, rumah, dan penyakit itu. Ia sama sekali tak ingat semua itu. Tapi ia
tahu pasti Sheila tak mungkin berbohong padanya. Tiba-tiba, Andra berteriak
karena bingung dengan pikirannya sendiri.
Mendengar teriakan Andra, papa
Andra dan Dokter Husen berlari ke kamar Andra. Mereka takut terjadi hal buruk
pada Andra dan Sheila. Tetapi mereka mendapati pintu masih terkunci.
“Sheila? Sheil? Kamu nggak
apa-apa? Ada apa?” teriak papa Andra dari luar kamar.
“Nggak papa om, nggak ada
apa-apa,” sahut Sheila di tengah keterkejutannya atas reaksi Andra yang mendadak
tersebut.
Terengah-engah, Andra berbicara
serak kepada Sheila.
“Sheil, aku...aku nggak tahu
harus gimana. Aku bener-bener nggak bisa ingat tentang yang kamu bilang tadi.
Tapi aku percaya kamu nggak bohong sama aku.”
Sheila memaksa tersenyum. “Kalau
begitu kita keluar, kita temui mereka. Tak apa, kamu nggak usah memaksakan
otakmu buat mengingat mereka sebagai keluargamu. Tapi percayalah, mereka bukan
orang jahat.”
“Aku percaya sama omongan kamu,
bukan berarti aku bisa percaya sama mereka. Mereka tetap nggak boleh ke sini.
Dan aku mohon kamu tetap di sini, jangan tinggalin aku sendiri.”
Sheila memeluk Andra dan mencium
kening kekasihnya itu.
...
Satu bulan yang lalu.
“Sheil..”
“Iya ndra?”
“Aku mau ketemu mereka.”
“Siapa?”
“mm...keluargaku?”
“Andra? Kami udah ingat mereka?”
“Ah bukan, aku masih nggak bisa
ngingat mereka sebenarnya. Aku cuma percaya yang kamu bilang aja, kalau mereka
keluargaku. Lagipula sepertinya mereka memang bukan ingin berbuat jahat sama
aku. Aku ingin ketemu mereka.”
“Oke..oke, aku panggil mereka
sekarang.”
Tak perlu waktu lama bagi Sheila
untuk memanggil Papa dan Mama Andra serta Fanya ke kamar Andra.
“Andra.” Mama Andra seperti ingin
jatuh dalam pelukan Andra dan menangis di sana tetapi ia masih tak berani
mendekati Andra.
“Aku nggak tau musti mulai dari
mana.” Andra membuka suara. “Aku cuma ingin bilang, aku masih belum bisa
mengingat kalian, tetapi Sheila bilang kalian keluargaku, dan kini mungkin ada
baiknya aku percaya, meski susah bagiku. Aku ingin mengucapkan terimakasih
karena kalian telah baik kepadaku. Dan jika memang benar apa yang dikatakan
Sheila, aku mohon maaf telah menjadi anak yang lancang, tetapi aku mohon,
kalian mengerti kondisiku.”
Hening tercipta. Seiring sinar kebahagiaan
yang terpancar dari air muka mama papa Andra.
“Andra.” Papa Andra mencoba
memberi jawaban terbaik kepada anaknya yang sempat ‘hilang’ itu. “Kamu tak
perlu memaksakan diri untuk mengingat atau memercayai bahwa kami keluargamu.
Cukup percaya bahwa kami tak akan melukai atau berbuat jahat sama kamu itu udah
cukup buat kami. Kami di sini ada untuk kamu Ndra.”
Andra tersentuh dengan ucapan
papanya itu. Ia membayangkan betapa ia adalah anak yang beruntung bila orang
yang berkata itu memang benar ayahnya.
“Boleh aku memeluk kalian?”
Papa Andra menarik tangan mama
Andra dan Fanya mendekati Andra. Kantung air mata yang dimiliki mama Andra
kembali menumpahkan isinya tatkala keluarga itu kembali dekat dalam peluk dan
haru.
Sheila pun tak mampu memalingkan
wajahnya yang berhias senyum dan air mata dari pemandangan itu.
“Aku boleh manggil kalian papa
mama?”
“Tentu boleh sayang,” jawab mama
papa Andra hampir bersamaan
“Kalau begitu,mm pa, kondisiku
pasti akan semakin parah. Mungkin sekarang aku masih mengingat Sheila, tapi
nanti suatu hari akan tiba saatnya tak ada satupun yang aku kenal. Aku pikir
lebih baik mulai sekarang aku dirawat di...” Andra terhenti berbicara. Ia
tiba-tiba mengalami “Presque Vu”. Ia kehilangan kata yang ia yakin tadi sempat
hadir di pikirannya. Ia berusaha mengingatnya tapi tak bisa.
Semua bingung.
“Rumah sakit?” Papa Andra mencoba
menebak.
“Apa itu?” Kini Andra justru tak
mengerti makna kata rumah sakit -meski tebakan ayahnya benar-, membuat yang
lain semakin bingung. “Apapun itu, aku yakin kalian tahu yang terbaik buatku.”
Papa Andra segera menelpon Dokter
Husen untuk menjemput Andra ke rumah sakit.
...
2 hari yang lalu.
Andra terbangun dari tidur
siangnya. Ia mendapati seorang perempuan yang tak ia kenal tidur terduduk di
samping ranjangnya.
“Siapa kamu?”
Perempuan itu terbangun dan
mengusap matanya.
“Siapa kamu? Di mana aku?”
Bagai disambar petir, perempuan
itu langsung mendapat kesadarannya dari bangun tidurnya, setelah mendengar
perkataan Andra.
“Andra? Aku Sheila. Kamu tak
mengenaliku?”
“Sheila siapa? Apa kita pernah
bertemu? Siapa juga Andra?”
“Andra. Namamu Andra. Dan aku
Sheila. Pacarmu.” Sekuat hati Sheila meyakinkan Andra. Ia tahu saat-saat
seperti itu akan datang, tetapi ia tak siap jika harus hari ini Andra
melupakannya.
“Aku kenal kamu tidak. Aku pergi.
Aku tak di sini.” Andra seperti kesulitan mengatur kata-kata dalam pikirannya
untuk mengatakan bahwa ia ingin pergi.
“Jangan ndra, kamu harus dirawat
di sini. Kamu masih sakit.”
Andra diam.
“Oke, kamu nggak perlu menganggap
aku pacarmu. Tapi kamu nggak boleh pergi dari sini.”
Andra menuruti kata-kata Sheila,
meski sebenarnya ia sendiri kesulitan mencerna makna kalimat Sheila yang
sederhana itu. Perlahan tangis terurai dari mata Sheila, menambah kebingungan
pada Andra.
...
30 menit yang lalu.
Gerimis turun perlahan dan mantap
menjadi hujan deras. Air terciprat ke jendela bangsal di mana Andra dirawat.
Sheila melihat Andra yang sedang menatap jendela itu.
“Kamu mau lihat hujan?”
Andra menoleh pada Sheila. Ia
berusaha mencari arti kata hujan dalam perpustakaan otaknya, tetapi ia gagal.
Sheila tersenyum, ia tahu
ucapannya tak memiliki makna di otak Andra. Tetapi ia menarik tangan Andra
untuk menuntunnya ke luar kamar rawatnya, untuk melihat hujan.
“Lima tahun yang lalu kamu pernah
bilang hujan bisa bernyanyi dan nyanyian bisa mengembalikan ingatan dia di masa
lalu. Kamu hutang bukti sama aku dan sekarang aku pengen nagih bukti itu,
buktiin ucapan kamu bener, kalau hujan bisa membawa ingatan masa lalu ke kita
lewat nyanyiannya.”
“Hujan. Nyanyian.” Kedua kata itu
berputar-putar di kepala Andra tanpa memiliki makna yang jelas.
Sheila mengusap mata Andra agar
terpejam dan ia pun ikut menutup matanya. Mereka berdua berusaha memfokuskan
pada bunyi air hujan yang jatuh ke tanah tanpa ada polusi suara yang lain. Lalu,
seperti mustahil, keduanya secara samar mendengar melodi yang dimainkan oleh
rintik hujan. Memaksa mereka untuk lebih menajamkan pendengaran mereka.
Melodi-melodi itu kini tersusun jelas menjadi sebuah nyanyian. Nyanyian Hujan.
...
Sekarang.
“Aku ingat.”
Sheila begitu menikmati nyanyian
hujan yang sedang ia dengarkan. Sehingga kata-kata Andra yang baru saja terucap
bergerak secara perlahan-lahan dari lubang telinganya merambat ke syaraf-syaraf
pendengarannya dan bermuara di otaknya. Begitu kata-kata itu berhasil diolah
otaknya ia segera membuka matanya melihat Andra yang sedang tersenyum bahagia.
“Apa katamu?” Seolah tak percaya
dengan telinga dan otaknya, Sheila ingin Andra mengulangi ucapannya.
“Aku ingat Sheil, aku ingat
semua. Tentang aku, kamu, keluargaku, semuanya. Hujan, benar hujan benar-benar
bisa bernyanyi, dan nyanyiannya telah mengembalikan ingatanku.”
Sheila terpaku. Selama ini ia
pikir mukjizat hanya ada di kitab-kitab suci, tetapi kini ia sendiri tengah
merasakan dengan semua inderanya, mukjizat itu terjadi.
Andra memeluk Sheila.
“Terimakasih Sheil, terimakasih udah setia nemenin aku selama aku sakit. Maaf
aku telah melupakanmu.”
Sheila tak berdaya membalas
ucapan Andra. Tetapi ia memiliki daya yang besar untuk membalas pelukan Andra.
I'm singing in the rain
Just singing in the rain
What a glorious feeling
I'm happy again
I'm laughing at clouds
So dark up above
The sun's in my heart
And I'm ready for love
For love
Let the stormy clouds chase
Everyone from the place
Come on with the rain
I've a smile on my face
I'll walk down the lane
With a happy refrain
Singing, singing in the rain
In the rain.
I'm singing in the rain
Just singing in the rain
What a glorious feeling
I'm happy again
I walk down the lane
With a happy refrain
I'm singing, singing in the rain
In the rain
In the rain
(Singing in the Rain
– Jamie Cullum)
*Pluviophile adalah sindrom yang membuat seseorang menyukai hujan.
*Alzheimer merupakan
sejenis sindrom dengan apoptosis sel-sel otak
pada saat yang hampir bersamaan, sehingga otak tampak mengerut dan mengecil dan
menyebabkan kehilangan kemampuan mengingat.
*Prosopagnosia adalah kondisi adanya ketidakcocokan antara
proses pengenalan wajah pada otak dan proses perekaman informasi pada memori penderita. Walaupun mampu membedakan
wajah, namun tidak dapat mengingat nama, pekerjaan, atau informasi lain
mengenai orang tersebut.
*Presque Vu adalah
fenomena dimana seseorang mengalami kegagalan untuk mengingat sebuah kata dari
ingatannya dan mengeluarkannya, ditambah dengan perasaan dimana perlu untuk
mengingat hal tersebut meskipun hanya mampu mengingat sebagian dari kata yang
ingin diucapkan.
*Menurut ilmuwan, pada kondisi
normal (tidak mengalami gangguan otak), suara hujan benar-benar dapat
merangsang otak untuk kembali mengingat masa lalu, meski belum pernah
dibuktikan secara ilmiah.
*Penyakit Alzheimer belum pernah
terbukti bisa disembuhkan, kesembuhan
penyakit tersebut dalam cerpen ini hanya untuk keperluan alur cerita.