Minggu, 23 November 2014

0

Penguntit

Hari #1
Halo Anna,ini hari pertama kau pergi. Aku sangat kesepian di kamar ini tanpamu. Kamar ini terasa terlalu besar untuk kutinggali sendiri,yah,tapi aku harus belajar terbiasa dengan ini.
Kau tahu,setelah kau pergi,kita,eh maksudku aku,kedatangan tetangga baru. Kamar kosong di seberang kamar kita kini ditinggali seorang lelaki. Bukan lelaki yang tampan,tapi cukup misterius bagiku. Dia memakai kacamata besar dan rambut disisir rapi. Mungkin bila kau tak pergi kemarin,kau bisa melihatnya sekarang.

Hari #2
Aku benar tentang lelaki di seberang kamar kita. Bukan tentang ketidaktampanannya,tapi sikapnya yang tertutup itu. Siang tadi aku berpapasan dengannya,lalu aku mencoba menyapanya tapi dia seperti menghindariku. Lelaki aneh.
Huh,tapi sudahlah,kenapa aku harus membicarakan orang lain. Ini hari kedua kepergianmu dan aku masih saja merindukanmu Anna. Bagaimana kabarmu?

Hari #3
Anna,lelaki itu,yang kuceritakan kemarin berkelakuan sangat aneh. Aku melihatnya berdiri di jendelanya dan menatapku dengan tajam dari sana. Lalu saat dia menyadari aku melihatnya dia langsung menutup jendelanya. Juga saat aku hendak pergi, dari sudut mataku aku bisa melihatnya memerhatikanku pergi. Aku mulai terganggu sekarang.
Oh, Anna. Seandainya kau masih disini.

Hari #4
Anna temanku, sepertinya aku butuh pertolongan disini. Lelaki itu semakin bertingkah aneh.
Tadi siang sepulang kuliah aku mendapatinya berdiri tepat di depan pintu kamar kita. Lalu aku menghardiknya dia tampak ketakutan lalu meminta maaf dan pergi begitu saja. Ya Tuhan, apa yang mau dia lakukan? Dia sudah berani mendekati kamar kita.

Hari #5
Ada hal baru lagi yang ingin aku ceritakan padamu Anna. Lelaki yang menjadi tetangga kita itu. Sepertinya dia seorang maniak. Hari ini aku memergokinya mengendap-endap di dekat jemuran pakaian dalamku.Tak ada yang hilang disana, tapi aku yakin dia bermaksud mencurinya. 
(img source: http://www.globaltimes.cn/Portals/0/attachment/2011/cba854ae-932f-423c-8b7d-eb69d383bdd7.jpeg)

Dia juga mengikuti kemanapun aku pergi keluar.
Apa yang harus kulakukan? Aku kini diawasi dan diikuti penguntit yang aneh. Aku semakin takut terhadapnya Anna.

Hari #6
Sebelumnya, aku minta maaf padamu Anna, karena selalu mengganggumu dengan cerita tentang lelaki yang menguntitku itu. Tapi kini aku janji aku takkan bercerita itu lagi, karena aku yakin lelaki itu tak kan menggangguku lagi. Aku tak kan cerita kenapa. Ini rahasiaku. ;)
Tapi, bila kau penasaran bagaimana rupanya, kau bisa membuka kulkas di kamar kita. Aku menyimpan kepalanya disana.

Hari #7
Ah maaf Anna, ada satu hal lagi yang ingin aku ceritakan padamu tentang lelaki itu. Sepertinya aku salah sangka terhadapnya. Dia bukan ingin menguntitku,dia hanya ingin mengembalikan dompetku yang hilang seminggu lalu, aku tahu dari dompetku yang ketemukan di saku jaketnya dan sepucuk surat kecil yang menyatakan demikian dan bahwa dia ingin berkenalan denganku tapi malu. 
Haha ini konyol,dia ingin berbuat baik padaku tapi aku justru salah sangka dan membunuhnya. Sama konyolnya dengan yang kulakukan padamu, saat kukira kaulah yang mencuri dompetku dan kita bertengkar hebat sampai aku membunuhmu. Padahal, ternyata aku sendiri yang menghilangkannya hingga ditemukan oleh lelaki itu.
Konyol sekali, bukan? :D

Sabtu, 15 November 2014

0

Jeff the Killer:Fearless

Minggu, 12 Oktober 2014

0

Nyanyian Hujan


5 tahun yang lalu.

“Yah, hujan deh.” Sheila menghela nafas. Rencana kencannya bersama Andra harus tertunda karena hujan turun tepat di saat mereka hendak melangkah keluar rumah Sheila.
Andra hanya tersenyum sambil melihat hujan yang menderas.
“Kok malah senyum-senyum sih, kan jadi gagal kencan kita,” sungut Sheila.
“Ya mau gimana lagi? Siapa yang tahu bakal turun hujan? Lagian kamu kelamaan sih dandannya, keburu hujan deh.”
“Kan biar cantik, biar kamu suka jalan sama cewek cantik.”
“Nggak usah dandan juga udah cantik kok,” goda Andra.
“Gombal.”
Andra tertawa.
“Terus kenapa tadi senyum-senyum liat hujan?”
“Suka aja.”
“Apanya? Kan cuma hujan? Kamu pluviophile?”
“Ada yang bilang hujan punya kemampuan buat menghipnotis manusia untuk me-resonansi-kan ingatan masa lalu.”
“Maksudnya?”
“Ya hujan bisa bikin kita ingat kenangan masa lalu gitu. Katanya di dalam hujan, ada nyanyian yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu.”
Giliran Sheila tertawa. “Hujan bisa nyanyi? Kata siapa? Ada-ada aja deh”
“Adalah pokoknya.”
“Huuu...”

...

2 tahun yang lalu.

 “Masih sakit ndra?”
“Iya, pusing banget Ma.”
“Kita ke dokter aja ya, periksain kamu?”
“Nggak usah Ma.”
“Nggak usah gimana, udah seharian kamu sakitnya.”
Andra terdiam sejenak. “Ke tempat prakteknya om itu aja ma, aduh siapa namanya? Yang deket dari sini.”
“Om Ilham?”
“Aduh lupa namanya, iya kayaknya yang di depan komplek itu Ma.”
“Iya Om Ilham, dia kan om kamu sendiri, adiknya Papa, masak lupa sih. Ya udah ayo kita ke sana sekarang. Siap-siap dulu, mau Mama bantu?”
“Nggak usah ma. Bisa kok Andra”
Mama Andra keluar kamar Andra.  Andra berganti baju dan menyisir rambutnya yang berantakan karena hanya berbaring di tempat tidurnya seharian.
 “Udah siap ndra?”
“Bentar Ma, Andra ganti baju dulu.”
“Loh itu kan udah ganti? Mau ganti lagi?”
Andra bergeming, sedikit guratan heran terlihat di wajahnya.
“Berantakan banget kamu pake bajunya, itu kancingnya ada yang ketinggalan satu nggak dikancingin, udah mahasiswa masih kayak anak SD kamu tuh” ucap Mama Andra seraya merapikan pakaian anaknya.

...

1 tahun yang lalu.

“Halo tante?”
“Iya Sheila.”
“Maaf tante, Sheila denger Andra sakit ya? Sakit apa tante?”
“...” tidak ada jawaban justru lirih terdengar isak tangis Mama Andra.
“Tante? Halo? Kenapa tan? Tante nangis?” Sheila mulai panik, tangannya gemetar memegang ponsel karena gugup untuk mendengar kabar dari Mama Andra.
“Andra..kata dokter dia positif mengidap sakit Alzheimer. Kemarin dia sempat nggak ngenalin papanya,” masih terisak mama Andra berusaha mengabarkan kondisi Andra kepada Sheila.
Sedikit shock, Sheila berusaha menutupi ketakutan dan kecemasannya agar tak semakin membuat mama Andra bersedih. “Andra sekarang di mana tante?”
“Dia masih dirawat di rumah sakit. Besok lusa Tante sama om mau bawa dia pulang.”

...

6 bulan yang lalu.

“Ndra bangun.”
Perlahan Andra membuka matanya, bangun dari tidurnya.
“halo Sheil.” Senyum mengembang di wajahnya melihat kekasihnya yang selalu menemani di setiap harinya, meski kini dia hidup sebagai seorang pesakitan.
“Nih aku bawain sarapan buat kamu, nasi goreng ala chef Sheila.”
Andra tersenyum. “Makasih ya Sheil. Mama Papa kemana?”
“Om udah berangkat ke kantor tadi, Tante lagi nganter Fanya ke sekolah. Cuci muka gih terus gosok gigi, terus makan nasi gorengnya keburu dingin nih.”
Andra beranjak dari tempat tidurnya ke kamar mandi.
“Kamu nggak ada kelas hari ini?”
“Nanti siang jam satu ndra, tadi kelas paginya pak Hermawan kosong sih.”
Andra mengambil nasi goreng yang telah disiapkan Sheila dalam piringnya.
“Aku makan ya.”
“Selamat makan sayang.” Sheila mengecup pipi Andra.
Sheila tersenyum menatap Andra yang tengah menyantap sarapannya. Tetapi senyum itu luntur seiring keluarnya air mata Andra yang tiba-tiba.
“Andra? Kamu nangis? Kenapa?”
“Aku takut Sheil. Aku takut ini nanti makin parah.”
Sheila mendadak terbawa haru melihat Andra yang begitu ketakutan. “Jangan gitu ndra, kamu pasti sembuh, berdoa aja, sama percaya semua bakal baik-baik aja,” Sheila mencoba menanangkan Andra.
“Nggak mungkin, dokter sendiri yang bilang penyakit ini mustahil sembuh. Aku nggak punya harapan lagi Sheil.”
Sheila menangis dan memeluk Andra.
“Kamu lebih baik cari cowok lain. Yang punya masa depan, yang pasti bisa bahagiain kamu Sheil. 5 tahun lagi mungkin aku udah nggak kenal kamu, Papa Mama, Fanya, atau bahkan aku nggak tahu lagi siapa aku sebenernya. Itupun kalau aku masih hidup”
“Cuma sama kamu aku bisa bahagia ndra, aku mohon bertahanlah, kuatin hati kamu. Sekalipun kamu kehilangan ingatan tentang aku dan keluargamu, bukan berarti kamu kehilangan kami, kami bakal selalu ada buat kamu.”
Tak ada lagi kata yang terucap, semuanya telah terwakilkan oleh air mata.

...

2 bulan yang lalu.

Sheila berjalan agak terburu-buru menuju rumah Andra. Pagi itu ia mendapat panggilan telpon dari mama Andra. Ia diberitahu bahwa kondisi Andra semakin parah. Ia kini sama sekali tak mengenali satu pun anggota keluarganya. Emosionalnya melonjak naik. Ia tak mau didekati semua orang di rumahnya dan hanya mengurung diri di kamarnya.
Sesampainya di rumah Andra, Sheila mendapati semua anggota keluarga berkumpul di ruang tengah bersama seorang dokter. Papa Andra terlibat pembicaraan yang serius dengan dokter Husen, sedangkan mama Andra menangis di peluk anak bungsunya, Fanya.
“Tante Om, gimana keadaan Andra?”
“Sheila..”sedikit terkejut papa Andra dengan kehadiran Sheila yang tiba-tiba. Tetapi seperti kehabisan kata-kata, ia sulit menjawab pertanyaan Sheila. Sedangkan mama Sheila masih belum bisa menghentikan tangisnya.
“Gimana Om? Di mana dia sekarang?”
“Dia di kamarnya, tadi pagi dia mengamuk saat melihat mamanya mengantar sarapan untuknya, dia tak mengenali kami.”
“Biar saya yang ketemu dia Om.”
“Tapi Sheil, Om takut dia tambah ngamuk, mungkin dia juga lupa sama kamu.”
“Sheila coba dulu Om.”
“Tapi kamu hati-hati ya Sheila,” ragu-ragu papa Andra mengijinkan Sheila menemui Andra.
Sedang Sheila berjalan menuju kamar Andra, Dokter Husen melanjutkan pembicaraannya dengan papa Andra yang sempat terhenti karena kedatangan Sheila.
“Jadi bagaimana pak? Apa bapak mengijinkan putra Bapak untuk segera dirawat di rumah sakit? Dia sudah mengalami kondisi prosopagnosia terhadap keluarganya. Saya khawatir kondisinya akan makin parah dari sekarang.”
“...”
“Pak?”
“eh, maaf dok...emm, mungkin baiknya kita lihat dulu, kalau dia masih mengenali Sheila, saya akan meminta Sheila untuk menemaninya di rawat di sini. Tapi jika nanti sampai akhirnya tidak ada seorang pun yang ia dapat kenal, bahkan dirinya sendiri, kita bawa dia ke rumah sakit. Begitu saja?”
“Baik pak.”
Sementara itu di kamar Andra.
Tok. Tok. Tok.
“Ndra? Andra? Ini aku Sheila?”
“Sheila?”
“Iya kamu masih kenal aku?”
“Tentu saja.”
“Boleh aku masuk?”
Andra membuka selot kunci pintunya.
“Apa maksudmu ‘masih kenal aku’? Kamu pacarku bagaimana aku bisa lupa?”
Sheila lega mendengarnya. Ia masuk dengan sedikit waspada. “Aku nanya itu, karena kamu nggak kenal lagi sama keluargamu.”
“Keluargaku?” Andra kembali menutup pintu dan menguncinya.
“Iya, keluargamu, orang-orang yang kau temui pagi ini?”
“Jangan ngelantur, aku baru bertemu mereka pagi ini. Mereka bukan keluargaku. Mereka seperti orang jahat, menahanku di ruang ini.”
“Ini kamarmu sendiri ndra, rumahmu.”
“Jangan bercanda Sheil. Aku tak pernah berada di sini sebelumnya. Aku tak pernah melihat orang-orang itu. Apa maksudmu mengatakan mereka keluargaku? dan ini rumahku? Kau bersekongkol dengan mereka?”
“Ndra kamu lagi sakit ndra, kamu kehilangan memori kamu tentang keluargamu pagi ini.”
Andra terkejut dengan penuturan Sheila. Ia seperti tak percaya dengan semua yang dikatakan Sheila tentang keluarga, rumah, dan penyakit itu. Ia sama sekali tak ingat semua itu. Tapi ia tahu pasti Sheila tak mungkin berbohong padanya. Tiba-tiba, Andra berteriak karena bingung dengan pikirannya sendiri.
Mendengar teriakan Andra, papa Andra dan Dokter Husen berlari ke kamar Andra. Mereka takut terjadi hal buruk pada Andra dan Sheila. Tetapi mereka mendapati pintu masih terkunci.
“Sheila? Sheil? Kamu nggak apa-apa? Ada apa?” teriak papa Andra dari luar kamar.
“Nggak papa om, nggak ada apa-apa,” sahut Sheila di tengah keterkejutannya atas reaksi Andra yang mendadak tersebut.
Terengah-engah, Andra berbicara serak kepada Sheila.
“Sheil, aku...aku nggak tahu harus gimana. Aku bener-bener nggak bisa ingat tentang yang kamu bilang tadi. Tapi aku percaya kamu nggak bohong sama aku.”
Sheila memaksa tersenyum. “Kalau begitu kita keluar, kita temui mereka. Tak apa, kamu nggak usah memaksakan otakmu buat mengingat mereka sebagai keluargamu. Tapi percayalah, mereka bukan orang jahat.”
“Aku percaya sama omongan kamu, bukan berarti aku bisa percaya sama mereka. Mereka tetap nggak boleh ke sini. Dan aku mohon kamu tetap di sini, jangan tinggalin aku sendiri.”
Sheila memeluk Andra dan mencium kening kekasihnya itu.

...

Satu bulan yang lalu.

“Sheil..”
“Iya ndra?”
“Aku mau ketemu mereka.”
“Siapa?”
“mm...keluargaku?”
“Andra? Kami udah ingat mereka?”
“Ah bukan, aku masih nggak bisa ngingat mereka sebenarnya. Aku cuma percaya yang kamu bilang aja, kalau mereka keluargaku. Lagipula sepertinya mereka memang bukan ingin berbuat jahat sama aku. Aku ingin ketemu mereka.”
“Oke..oke, aku panggil mereka sekarang.”
Tak perlu waktu lama bagi Sheila untuk memanggil Papa dan Mama Andra serta Fanya ke kamar Andra.
“Andra.” Mama Andra seperti ingin jatuh dalam pelukan Andra dan menangis di sana tetapi ia masih tak berani mendekati Andra.
“Aku nggak tau musti mulai dari mana.” Andra membuka suara. “Aku cuma ingin bilang, aku masih belum bisa mengingat kalian, tetapi Sheila bilang kalian keluargaku, dan kini mungkin ada baiknya aku percaya, meski susah bagiku. Aku ingin mengucapkan terimakasih karena kalian telah baik kepadaku. Dan jika memang benar apa yang dikatakan Sheila, aku mohon maaf telah menjadi anak yang lancang, tetapi aku mohon, kalian mengerti kondisiku.”
Hening tercipta. Seiring sinar kebahagiaan yang terpancar dari air muka mama papa Andra.
“Andra.” Papa Andra mencoba memberi jawaban terbaik kepada anaknya yang sempat ‘hilang’ itu. “Kamu tak perlu memaksakan diri untuk mengingat atau memercayai bahwa kami keluargamu. Cukup percaya bahwa kami tak akan melukai atau berbuat jahat sama kamu itu udah cukup buat kami. Kami di sini ada untuk kamu Ndra.”
Andra tersentuh dengan ucapan papanya itu. Ia membayangkan betapa ia adalah anak yang beruntung bila orang yang berkata itu memang benar ayahnya.
“Boleh aku memeluk kalian?”
Papa Andra menarik tangan mama Andra dan Fanya mendekati Andra. Kantung air mata yang dimiliki mama Andra kembali menumpahkan isinya tatkala keluarga itu kembali dekat dalam peluk dan haru.
Sheila pun tak mampu memalingkan wajahnya yang berhias senyum dan air mata dari pemandangan itu.
“Aku boleh manggil kalian papa mama?”
“Tentu boleh sayang,” jawab mama papa Andra hampir bersamaan
“Kalau begitu,mm pa, kondisiku pasti akan semakin parah. Mungkin sekarang aku masih mengingat Sheila, tapi nanti suatu hari akan tiba saatnya tak ada satupun yang aku kenal. Aku pikir lebih baik mulai sekarang aku dirawat di...” Andra terhenti berbicara. Ia tiba-tiba mengalami “Presque Vu”. Ia kehilangan kata yang ia yakin tadi sempat hadir di pikirannya. Ia berusaha mengingatnya tapi tak bisa.
Semua bingung.
“Rumah sakit?” Papa Andra mencoba menebak.
“Apa itu?” Kini Andra justru tak mengerti makna kata rumah sakit -meski tebakan ayahnya benar-, membuat yang lain semakin bingung. “Apapun itu, aku yakin kalian tahu yang terbaik buatku.”
Papa Andra segera menelpon Dokter Husen untuk menjemput Andra ke rumah sakit.

...

2 hari yang lalu.

Andra terbangun dari tidur siangnya. Ia mendapati seorang perempuan yang tak ia kenal tidur terduduk di samping ranjangnya.
“Siapa kamu?”
Perempuan itu terbangun dan mengusap matanya.
“Siapa kamu? Di mana aku?”
Bagai disambar petir, perempuan itu langsung mendapat kesadarannya dari bangun tidurnya, setelah mendengar perkataan Andra.
“Andra? Aku Sheila. Kamu tak mengenaliku?”
“Sheila siapa? Apa kita pernah bertemu? Siapa juga Andra?”
“Andra. Namamu Andra. Dan aku Sheila. Pacarmu.” Sekuat hati Sheila meyakinkan Andra. Ia tahu saat-saat seperti itu akan datang, tetapi ia tak siap jika harus hari ini Andra melupakannya.
“Aku kenal kamu tidak. Aku pergi. Aku tak di sini.” Andra seperti kesulitan mengatur kata-kata dalam pikirannya untuk mengatakan bahwa ia ingin pergi.
“Jangan ndra, kamu harus dirawat di sini. Kamu masih sakit.”
Andra diam.
“Oke, kamu nggak perlu menganggap aku pacarmu. Tapi kamu nggak boleh pergi dari sini.”
Andra menuruti kata-kata Sheila, meski sebenarnya ia sendiri kesulitan mencerna makna kalimat Sheila yang sederhana itu. Perlahan tangis terurai dari mata Sheila, menambah kebingungan pada Andra.

...

30 menit yang lalu.

Gerimis turun perlahan dan mantap menjadi hujan deras. Air terciprat ke jendela bangsal di mana Andra dirawat. Sheila melihat Andra yang sedang menatap jendela itu.
“Kamu mau lihat hujan?”
Andra menoleh pada Sheila. Ia berusaha mencari arti kata hujan dalam perpustakaan otaknya, tetapi ia gagal.
Sheila tersenyum, ia tahu ucapannya tak memiliki makna di otak Andra. Tetapi ia menarik tangan Andra untuk menuntunnya ke luar kamar rawatnya, untuk melihat hujan.
“Lima tahun yang lalu kamu pernah bilang hujan bisa bernyanyi dan nyanyian bisa mengembalikan ingatan dia di masa lalu. Kamu hutang bukti sama aku dan sekarang aku pengen nagih bukti itu, buktiin ucapan kamu bener, kalau hujan bisa membawa ingatan masa lalu ke kita lewat nyanyiannya.”
“Hujan. Nyanyian.” Kedua kata itu berputar-putar di kepala Andra tanpa memiliki makna yang jelas.
Sheila mengusap mata Andra agar terpejam dan ia pun ikut menutup matanya. Mereka berdua berusaha memfokuskan pada bunyi air hujan yang jatuh ke tanah tanpa ada polusi suara yang lain. Lalu, seperti mustahil, keduanya secara samar mendengar melodi yang dimainkan oleh rintik hujan. Memaksa mereka untuk lebih menajamkan pendengaran mereka. Melodi-melodi itu kini tersusun jelas menjadi sebuah nyanyian. Nyanyian Hujan.

...

Sekarang.

“Aku ingat.”
Sheila begitu menikmati nyanyian hujan yang sedang ia dengarkan. Sehingga kata-kata Andra yang baru saja terucap bergerak secara perlahan-lahan dari lubang telinganya merambat ke syaraf-syaraf pendengarannya dan bermuara di otaknya. Begitu kata-kata itu berhasil diolah otaknya ia segera membuka matanya melihat Andra yang sedang tersenyum bahagia.
“Apa katamu?” Seolah tak percaya dengan telinga dan otaknya, Sheila ingin Andra mengulangi ucapannya.
“Aku ingat Sheil, aku ingat semua. Tentang aku, kamu, keluargaku, semuanya. Hujan, benar hujan benar-benar bisa bernyanyi, dan nyanyiannya telah mengembalikan ingatanku.”
Sheila terpaku. Selama ini ia pikir mukjizat hanya ada di kitab-kitab suci, tetapi kini ia sendiri tengah merasakan dengan semua inderanya, mukjizat itu terjadi.
Andra memeluk Sheila. “Terimakasih Sheil, terimakasih udah setia nemenin aku selama aku sakit. Maaf aku telah melupakanmu.”
Sheila tak berdaya membalas ucapan Andra. Tetapi ia memiliki daya yang besar untuk membalas pelukan Andra.

I'm singing in the rain
Just singing in the rain
What a glorious feeling
I'm happy again
I'm laughing at clouds
So dark up above
The sun's in my heart
And I'm ready for love
For love
Let the stormy clouds chase
Everyone from the place
Come on with the rain
I've a smile on my face
I'll walk down the lane
With a happy refrain
Singing, singing in the rain
In the rain.

I'm singing in the rain
Just singing in the rain
What a glorious feeling
I'm happy again
I walk down the lane
With a happy refrain
I'm singing, singing in the rain
In the rain
In the rain
(Singing in the Rain – Jamie Cullum)


*Pluviophile adalah sindrom yang membuat seseorang menyukai hujan.
*Alzheimer merupakan sejenis sindrom dengan apoptosis sel-sel otak pada saat yang hampir bersamaan, sehingga otak tampak mengerut dan mengecil dan menyebabkan kehilangan kemampuan mengingat.
*Prosopagnosia  adalah kondisi adanya ketidakcocokan antara proses pengenalan wajah pada otak dan proses perekaman informasi pada memori penderita.  Walaupun mampu membedakan wajah, namun tidak dapat mengingat nama, pekerjaan, atau informasi lain mengenai orang tersebut.
*Presque Vu adalah fenomena dimana seseorang mengalami kegagalan untuk mengingat sebuah kata dari ingatannya dan mengeluarkannya, ditambah dengan perasaan dimana perlu untuk mengingat hal tersebut meskipun hanya mampu mengingat sebagian dari kata yang ingin diucapkan.
*Menurut ilmuwan, pada kondisi normal (tidak mengalami gangguan otak), suara hujan benar-benar dapat merangsang otak untuk kembali mengingat masa lalu, meski belum pernah dibuktikan secara ilmiah.
*Penyakit Alzheimer belum pernah terbukti  bisa disembuhkan, kesembuhan penyakit tersebut dalam cerpen ini hanya untuk keperluan alur cerita.

Sabtu, 23 Agustus 2014

0

Menolak Lupa #3: Wiji Thukul

(image source: http://ryjanbrsk.files.wordpress.com/2011/01/thukul-211.jpg)

Banyak yang bilang dia sudah mati
Tapi tak sedikit yang mengharap dia kembali
Sejak reformasi hingga kini
masih hilang bagai ditelan bumi,

Si ceking yang berani dan berapi
bunga yang tumbuh mekar dari satu biji
sekuat hati tumbangkan tembok tirani

tapi tertekan dan terintimidasi
hingga harus kabur melarikan diri
meski berat hati tinggalkan anak istri,

Orang menyebutnya tumbal
atas konspirasi para feodal
Sejatinya, dialah pahlawan tak tersangkal
meski tak banyak orang kenal,

Thukul si penyair cedal
keberanian dan tekad jadi modal
kertas dan pena buat bekal
Kata-katanya akan selalu kekal
Hingga kepala musuhnya yang bebal
dia jadikan alas pijakan dia punya sendal,

Bukan begitu, Jendral?
...

Kini tangan telah terkepal
Benang-benang perlawanan tengah dipintal
Meski keringat mulai mengental
Perjuangan tak boleh gagal
diam-diam ataupun frontal
semua harus tuntas sampai final.

Atas nama kemanusiaan,
Jatinangor, Agustus 2014

Kamis, 21 Agustus 2014

0

Sinta: Stockholm Syndrome

Dewi Sinta (image source: http://cdn.shopify.com/s/files/1/0152/9417/products/maskedart_wayang_dewi_shinta_jepara_09_1024x1024.jpg?v=1339342838)

Rahwana tertegun melihat Sinta yang terlelap di kamar yang telah Rahwana sediakan untuk Sinta. Kakak Dursasana tersebut terpukau oleh kecantikan Sinta yang telah lama Ia dengar dari omongan orang tetapi baru kali ini ia lihat langsung dengan mata bulat besarnya.

Dengan bantuan Kala Marica, anak buahnya, Rahwana berhasil membawa kabur Dewi Sinta ke Istananya dengan sedikit tipu musihat seperti yang biasa ia lakukan. Tetapi saat tiba di Alengka, Sinta jatuh pingsan karena ketakutan melihat sosok para raksasa di kerajaan tersebut, hingga Ia hanya dibaringkan di sebuah kamar yang lebih  layak untuk tamu kehormatan Kerajaan dibandingkan untuk seorang tawanan. 

Sinta siuman saat hari menginjak senja.

“Makanlah, kau sudah dua hari tak menyantap apapun”, ucap Rahwana sambil menyodorkan ke pada Sinta makanan yang telah dihidangkan pelayannya.

Sinta hanya diam dan menatap tajam pada Rahwana. Rahwana merasakan emosi kebencian pada diri Sinta, tetapi Ia juga prihatin atas kondisi Sinta yang terus melemah karena Ia sama sekali tak berkenan menerima makanan apapun di Alengka sejak Ia diculik Rahwana dari tangan Rama.

“Aku tak ingin menyakitimu, dan percayalah aku tak akan lama memisahkanmu dari Rama. Aku tahu kalian saling mencintai dan aku selalu menghargai perasaan seperti itu. Aku melarikanmu ke sini hanya untuk memberi pelajaran kepada Rama. Ini murni perkaraku dengan dia dan tak ada hubungannya denganmu, maafkan aku telah lancang melibatkanmu dalam perang ini.”

Sinta bertahan dalam diamnya namun kali ini bukan lagi karena rasa bencinya melainkan ia terkejut atas sikap Rahwana yang lembut ini. Ini juga kali pertama Sinta bertemu langsung dengan Rahwana, sebelumnya ia hanya mendengarkan kisah Rahwana dari ucapan Rama dan orang-orang terdekat Rama di negara Ayodya. Buruk rupa, angkara murka dan licik, itulah gambaran sosok Rahwana yang didapat Sinta dari cerita orang-orang itu. Ia memang jauh dari kesan tampan karena memang Ia adalah seorang Buto (raksasa buruk rupa), ia juga menggunakan cara licik untuk menculik Sinta. Tapi Sinta sama sekali tak mendapati sifat beringas yang sering ia bayangkan dari Rahwana. 

Namun Sinta  tak mau terlena oleh sikap Rahwana tersebut, Ia berpikir Rahwana hanya berpura-pura baik untuk mengambil hati Sinta.

“Baiklah akan kutinggalkan makanan ini bersamamu, kuharap kau bersedia memakannya nanti.” Rahwana melangkah pergi keluar kamar itu.

Setelah bayangan Rahwana menghilang dari pandangannya, Sinta kembali tenggelam dalam air mata. Ia sangat sedih berpisah dari Rama dan ia sangat merindukan kekasihnya itu.

...

Begitulah seterusnya selama seminggu berturut-turut Sinta masih enggan berbicara dan tak mau makan hingga hari ke-tujuh dalam masa penculikan atas dirinya oleh Rahwana, Sinta jatuh sakit. Rahwana panik mengetahui kondisi Sinta yang sekarat. Hampir semua tabib yang ada di Kerajaannya ia panggil untuk menyembuhkan Sinta, beberapa menyerah karena ternyata Sinta bukan hanya sakit kurang makan namun kondisi kritisnya juga disebabkan suatu penyakit langka yang sudah lama diderita Sinta yang kini kambuh karena kondisi tubuh Sinta yang sangat lemah. Tabib lain yang cukup handal mengatakan bahwa penasea dari penyakit tersebut adalah ramuan yang menggunakan bahan dari sebuah bunga ajaib yang hanya tumbuh di dasar laut terdalam.

Tanpa pikir panjang lagi, Rahwana segera mencari bunga tersebut meskipun hal itu cukup sulit baginya sekalipun ia adalah seorang Raja raksasa.

Sebenarnya reaksi spontan dirinya atas kejadian yang menimpa Sinta ini juga membuat Rahwana sendiri bingung, mengingat Sinta adalah kekasih dari musuh besarnya, tak ada keuntungan baginya untuk menyembuhkan Sinta, justru seharusnya dengan matinya Sintalah ia dapat membalas Rama. Tetapi kini ia tak mau memikirkan itu. Ia terus berlari menuju lautan untuk menyelamatkan wanita cantik yang kini tengah menjadi tawanannya itu. Cantik? Ya, bahkan Rahwana sendiri tak menampik bahwa hatinya tergetar saat pertama menatap wajah Sinta. “Ia lebih cocok tinggal di Kahyangan dan menjadi salah satu bidadari di sana daripada menjadi manusia di bumi” begitu pikir sang Raja Alengkadireja. Ada perasaan ingin melindungi wanita cantik itu, meskipun Ia sadari kini posisinya adalah penculik Sinta. Ia bahkan tak tega menyentuh wanita yang terlihat suci itu, meskipun ia sangat ingin, karena ia sadar ia adalah seorang Buto  yang hanya membawa kenajisan bagi wanita seperti Sinta. Semua pelayan yang Ia perintahkan untuk melayani dan menjaga Sinta adalah wanita. Ia sedikit menyesal telah mengutus Kala Marica yang buruk rupa seperti dirinya untuk merampas Sinta.. Adakah ia telah jatuh hati kepada Sinta? Pikiran-pikiran membingungkan itu terus berkecamuk di kepala Rahwana tanpa bisa ia jawab, hingga tanpa sadar ia telah sampai di tepi samudra. 

Rahwana berdiri terdiam. Sejenak ia ragu, benarkah langkah yang akan diambilnya ini? 

Tak perlu waktu lama bagi Rahwana untuk membuat dirinya menyadari hatinya mutlak telah diliputi cinta kepada Sinta. Tak ada lagi keraguan, ia memantapkan niatnya untuk mencari bunga ajaib dan menyelamatkan Sinta.

Bukan sebuah petualangan yang mudah untuk mencari bunga tersebut. Rahwana memang bisa bertahan di dalam lautan bahkan sampai dasarnya, tetapi kesaktiannya melemah dan tak sekuat saat berada di darat. Dan celakalah ia, meskipun tak sulit menemukan keberadaan bunga ajaib (karena telah dibekali petunjuk tabib) Rahwana harus berhadapan dengan raksasa lautan yang besarnya 10 kali lipat tubuh Rahwana. Tetapi dengat niat dan ketulusannya menolong Sinta, Rahwana berhasil mengalahkan raksasa lautan itu dan mendapatkan bunganya meski harus menderita beberapa luka serius akibat pertempuran dengan Raksasa lautan.

Rahwana kembali ke Alengka membawa bunga ajaib yang didapatnya dengan harapan dapat menyelamatkan Sinta. Ia disambut para saudaranya yang heran melihat pengorbanannya untuk seorang tawanan. Rahwana berdalih nyawa Sinta penting untuk menaklukan Kerajaan Ayodya.

Sesuai harapan Rahwana, Sinta sembuh berkat bunga yang ia dapatkan dengan memertaruhkan nyawanya.

“Kau sudah sembuh? Makanlah yang banyak untuk memulihkan kondisimu,” ucap Rahwana.

“Aku ucapkan terima kasih atas bunga itu, tapi aku tak kan luluh karena itu,” jawab Sinta, dingin. “Sejujurnya akan lebih baik bagiku untuk mati sekarang di sini.”

“Mudah bagiku untuk membantumu mewujudkan keinginanmu itu. Tapi aku tak akan membiarkanmu mati sekarang, aku ingin kau lebih bisa menghargai hidupmu sendiri dan hidup orang lain. Bukan karena aku yang memberimu bunga itu, tapi karena aku percaya bukan takdirmu untuk mati sekarang, di sini.”

“Menghargai hidup katamu? Bagaimana dengan hidup orang-orang yang telah kau bunuh? Kau menghargainya dengan membunuh mereka?”

Rahwana terlihat menahan kegusarannya dan meninggalkan Sinta.

Sinta telah berbohong dengan mengatakan dirinya tak luluh oleh perjuangan Rahwana mendapatkan bunga itu, setidaknya sedikit bagian hatinya telah tersentuh oleh Rahwana. Ia tahu betul tak mudah mendapatkan bunga itu, apalagi seorang diri. Dalam hatinya juga bertanya tentang apa yang memotivasi Rahwana hingga berbuat sejauh itu untuk dirinya.
Prabu Rahwana (image source: http://wayang.files.wordpress.com/2010/07/rahwana.jpg)

...

“Tuan memanggil saya?” tanya Hanoman kepada Rama.

“Iya Hanoman, ada tugas cukup berat yang hendak kuberikan padamu.”

“Apapun titah Tuan, saya siap laksanakan,” jawab Hanoman mantap.

...

Sinta tersentak dari lamunannya setelah mendengar suara yang tak asing baginya memanggilnya.
“Tuan Putri..Tuan, di sini.” 

Sinta mencari sumber suara dan mendapati Hanoman berada di luar jendela kamar tersebut.

“Hanoman? Apa yang kau lakukan di sini? Darimana kau bisa sampai ke tempat ini?”

“Saya ke sini diutus oleh Prabu untuk memata-matai Alengka dan melaporkan kondisi Tuan Putri. Sebentar lagi Prabu Rama akan membawa pasukan ke sini untuk menyelamatkan Tuan Putri sekaligus menyerang Alengka.”

“Terima kasih Hanoman. Sampaikan pada Rama aku baik-baik saja di sini, aku bisa menjaga diriku sendiri dan aku akan menunggunya menjemputku.”

“Baik Tuan Putri, maaf hanya itu yang bisa saya lakukan karena keadaan tidak memungkinkan untuk saya membawa Tuan Putri sekarang.”

“Tak apa Hanoman, pergilah sekarang dan berhati-hati mereka bisa menangkapmu.”

Ucapan Sinta benar, Hanoman tertangkap oleh Indrajit sebelum sempat kembali melapor kepada Rama. Dia diikat dan diarak ke alun-alun Alengka untuk dibakar beramai-ramai. Namun karena kegesitannya Hanoman berhasil melepaskan diri dari ikatan tersebut dan justru membakar sebagian besar kerajaan Alengka. Dia segera meninggalkan Alengka setelah merasa cukup untuk membuat kerusuhan di sana.

Tak lama setelah itu Rama membawa seluruh pasukannya meggempur Alengka. Terjadi peperangan besar dan panjang antara para ksatria Ayodya beserta pasukan kera melawan para raksasa Alengka. Pihak Rama berhasil memenangkan pertempuran dan membawa Sinta kembali.

...

Sinta tengah melamun di kamarnya sekembalinya ia ke Ayodya.

“Permisi tuan putri, ini saya bawakan makanan untuk tuan putri.”

“Terima kasih mbok, taruh saja di meja itu nanti aku makan.”

Mbok Parmi mendekati Sinta.“Tuan putri kenapa? Sejak pulang dari Alengka Tuan putri selalu muram mbok lihat. Bukankah semestinya Tuan putri senang bisa kembali ke sini bersama Yang Mulia Sri Rama?” 

Sinta mendesah. “Apa gunanya aku kembali ke sini mbok, kalau sama saja aku harus dikurung dalam kamar ini tanpa boleh keluar? Kakanda Rama menyuruh banyak pengawal untuk menjaga agar aku tidak keluar dari sini. Apa bedanya dengan saat aku diculik Rahwana?”

“Jangan begitu Tuan Putri. Yang Mulia melakukan ini demi kebaikan tuan putri sendiri. Kita semua tahu, Alengka telah dikalahkan, tetapi Rahwana belum juga ditemukan, entah hidup atau mati. Yang Mulia masih takut dengan bahaya yang dapat mengancam Tuan Putri.”

“Lalu sampai kapan aku harus diperlakukan tak lebih dari seekor burung seperti ini? Lagipula kenapa kakanda tidak pernah memanggil untuk bertemu dengannya? Atau datang ke sini sendiri menemui istrinya ini?”

Kali ini mbok Parmi tidak tahu harus menjawab apa. Ia sendiri bingung dengan perlakuan Rama terhadap Sinta ini. Air mata Sinta mengallir dan perlahan menderas. Ia menangis dalam pelukan mbok embannya tersebut.

...

“Ritual bakar diri Yang Mulia?”

“Iya”

“Yang mulia yakin?”

“Apa aku terlihat bergurau, Patih?”

“Maafkan hamba Yang Mulia. Hamba takut keputusan ini justru akan menyakiti hati Permaisuri Sinta dan merusak hubungan pribadi antara Yang mulia dengan permaisuri.”

“Itu urusanku. Laksanakan saja perintahku.”

“Baik Yang Mulia”

...

Mbok Parmi hendak mengantar makanan kepada Sinta ketika dilihatnya dua orang parjurit yang biasa menjadi pengantar pesan raja keluar dari bangsal Sinta. Mbok Parmi penasaran apa yang Rama sampaikan pada istrinya yang telah 4 hari seperti ia acuhkan itu.

Mbok Parmi terkejut mendapati Sinta menangis sesenggukan di balik bantal. Segera ia menghampiri Sinta.

“Ada apa tuan Putri?”

“Katakan mbok, apa memang cinta sebegini menyakitkan? Aku sudah menjaga hatiku dengan sumpah setia kepada Kakanda Rama, tapi mengapa ia abaikan kesetiaanku dan menjawabnya dengan ketidakpercayaan?”

“Apa maksud tuan putri?”

“Kakanda Rama, ia ingin aku melakukan ritual bakar diri untuk membuktikan kesucian diriku. Ia tak memercayaiku yang telah menjaga kehormatanku, di Alengka sekalipun.”

Mbok Parmi terkejut “Maaf, tapi ini sudah keterlaluan menurut hamba tuan putri. Kita semua tahu ritual itu omong kosong para leluhur kita. Tuan putri akan terbakar walapun benar tuan Putri tidak seperti yang ditakutkan Yang Mulia Rama. Sekalipun tuan Putri seperti yang dituduhkan oleh Yang Mulia, dia sepatutnya menerima tuan Putri apa adanya, karena tuan Putri istrinya.” 

Mbok Parmi sudah tidak bisa membohongi dirinya sendiri dan Sinta, bahwa ia pun jengah dengan sikap Rama terhadap Sinta belakangan ini. Malah sekarang Rama dengan congkaknya menitahkan hal yang berbahaya bagi istrinya sendiri. Tapi ia pun bingung harus bagaimana untuk menolong Sinta karena ini titah Raja.

Mbok Parmi menawarkan diri untuk membantu Sinta bila ia ingin melarikan diri dari Istana yang sudah bukan lagi rumah baginya ini.

“Tidak mbok, lebih baik aku mati dalam api itu, walaupun orang akan melihatku sebagai wanita yang tak suci, daripada hidup dengan konsekuensi yang sama. Tak ada lagi yang bisa kuharapkan dari hidup ini, cinta kakanda Rama padaku mungkin telah hilang tertiup angin jaman.”

Mbok Parmi tak bisa mencegah keputusan Sinta itu meski dalam hati ia ingin menyelamatkan majikan yang telah ia asuh sejak kecil dengan kasih sayang seperti pada anaknya sendiri tersebut.

“Semoga para dewa kahyangan melindungi Tuan Putri dalam bara dan api itu,” ucap Mbok Parmi dengan sedih.

...

Di alun-alun kota Ayodya, penduduk berkumpul untuk ikut menjadi saksi ritual bakar diri Ratu mereka. Beberapa anak kecil dan remaja serta wanita terlihat menangis menunjukkan simpati dan iba mereka kepada Sinta. Sedangkan laki-laki dan tetua tampak lebih antusias untuk mengetahui kebenaran yang akan ditunjukkan dari ritual yang telah puluhan tahu tak pernah dilakukan lagi itu.

“Maaf Yang Mulia, semua persiapan telah selesai tinggal menunggu Yang Mulia Sinta hadir di sini.”

“Panggil dia.”

“Baik Yang Mulia.”

Sinta datang dengan pandangan kosong namun langkahnya tegas. Tak terlihat sedikit pun gurat ketakutan. Sebentar dia melihat ke arah Rama, bukan untuk mengharap iba, ia tahu iba itu tak lagi ada pada diri Rama, hanya ingin melihat ekspresi Rama melihat wanita yang dulu susah payah ia dapatkan dari sayembara itu jatuh dalam bara api yang jahat. Rama hanya terdiam menjaga wibawanya.

Sampailah Sinta di tepi panggung yang mengarah ke api pembakaran. Semua yang menyaksikan tak mampu berkata, beberapa bertahan dalam tangis mereka. Seorang prajurit  memberikan aba-aba agar Sinta segera melompat. Tak ada keraguan dalam hati Sinta yang telah hancur, untuk melompat dalam bara api. Beberapa wanita menjerit tak tega menyaksikannya.

Kejadian itu sangat cepat. Tapi semua yang menyaksikan tak meragukan pandangan mata mereka. Tubuh Sinta menghilang, sesaat setelah dia melompat. Ya, menghilang! Tepat sebelum lidah api menjilat tubuhnya. Hening sesaat kemudian keributan kecil terjadi. Rama dan beberapa orang Istana dan warga terpaku. Beberapa orang berpekik “Hidup Sinta! Hidup Sinta!” kemudian diikuti yang lain.

Rama tak tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan lugunya, ia memeritahkan semua prajurit untuk mencari Sinta ke seluruh penjuru Ayodya.

...

“Kau tak apa-apa? Apa aku terlambat mendapatkanmu tadi?” Rahwana memapah Sinta duduk di sebuah pohon besar.

“Kenapa kau menyelamatkanku?”

“Kenapa? Kau yang kenapa? Kau mau saja menuruti Rama untuk bakar diri. Itu ritual bodoh. Cintamu pada Rama takkan menyelamatkanmu dari api itu.”

“Sudah tak ada lagi cinta dalam hatiku. Lagipula aku memang ingin mati.”

“Mau mati juga harus punya alasan. Jangan bodoh” 

“Kau sendiri? Kau punya alasan menyelamatkanku? Dan aku ingat, ini bukan yang pertama kalinya.” 

“Aku hanya tak suka melihat orang menjadi bodoh karena cinta.” Rahwana berusaha menutupi perasaannya pada Sinta. Tanpa sadar, ucapannya justru menyindir dirinya sendiri.

“Aku minta maaf karena telah lancang menyentuhmu. Tak terpikirkan olehku cara lain untuk menolongmu tadi.”

Sejenak Sinta terdiam. Rahwana menyangka kali ini Sinta benar-benar marah padanya.

“Kau, kupikir kau sudah mati.”

“Aku memang terkena panah Rama dan hampir mati saat itu. Tapi ketika Rama mendatangi tubuhku yang telah tumbang tiba-tiba satu cahaya kilau,entah darimana, menutupi tubuhku hingga kasat mata, lalu membawaku menjauh dari medan perang itu dan menyelamatkan nyawaku.”

Cerita yang ganjil, tapi Sinta tahu pasti tidak ada setitik kebohongan pun di dalamnya.

"Saat Rama menyerang kerajaanmu, kau tahu kau akan kalah karena Wibisana mengkhianatimu, mengapa kau masih berkeras melawan Rama? Bukankah kau bisa melarikan diri terlebih dahulu?

“Aku menculikmu dengan cara yang memalukan, untuk menebusnya aku harus mengembalikanmu dengan cara yang ksatria: bertarung melawan Rama Wijaya. Meskipun kekalahanku tak terelakan lagi, aku harus menghadapi Rama untuk menyempurnakan kisah cintamu dengannya, atau setidaknya, aku bisa memuliakan diriku sendiri sebelum mati, pikirku saat itu.”

Sinta menatap Rahwana. Bukan tatapan dingin kali ini. Mata itu diliputi haru dan dihiasi setitik air mata di ujungnya. Ia bangkit berdiri berjalan ke arah Rahwana dan memeluknya tiba-tiba. Air mata yang sedari tadi ia bendung kini deras mengalir. Sinta tak dapat menyangkal hati kecilnya, keraguan  Rama padanya telah menumbangkan pohon cinta yang telah lama ia jaga. Tapi kini pohon cinta yang lain -yang lebih kokoh- telah tumbuh dari benih ketulusan yang disebarkan Rahwana.

Rahwana tak tahu apa yang terjadi. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tak tahu harus berucap apa. Untuk seorang Raja Raksasa, ini konyol. Rahwana salah tingkah dalam pelukan wanita yang dicintainya.

“Maaf aku selalu bersikap jahat padamu.” Sinta membuka suara. “Aku selalu berpikiran buruk padamu. Tanpa aku kehendaki justru kau yang selalu pertaruhkan nyawa untukku. Kau memang bajingan. Kau tak hanya menculik diriku dari Rama tapi kau juga menculik hatiku darinya. Tubuhku memang diambil kembali oleh Rama. Tapi hatiku ia tinggalkan di Alengka. Katakanlah Rahwana. Bahwa kau mencintaiku juga.”

Rahwana tak pandai berucap cinta. Tapi dengan membalas dekapan Sinta, Sinta tahu pasti jawabnya.

Lalu kisah cinta yang tak direstui langit ini pun dimulai. Rahwana tinggal di hutan terpencil bersama Sinta –karena Alengka telah porak poranda-. Hidup tanpa gelar Raja dan Ratu, hanya sebagai orang biasa yang saling mencinta.
...
Mbok Parmi tengah memasak dengan tungku hitam tuanya ketika seorang anak kecil berlari ke arahnya. “Nek..nenek, ada surat untuk nenek,” teriaknya.

Mbok Parmi menerima surat daun lontar tersebut. Awalnya dia agak heran membacanya tapi kemudian senyum mengembang di wajah keriputnya.

Sambil menutup kembali surat itu, ia bergumam lirih seraya menatap langit “hati yang tulus adalah hati yang diliput cinta, sekalipun ia terpendam dalam di dada seorang Rahwana.”

“Apa maksudnya nek?”

Mbok Parmi tersenyum pada cucunya. “Bukan apa-apa. Makanlah, nasinya sudah matang.”

END






Minggu, 17 Agustus 2014

0

Sajak Pitulasan

(image source: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/f1/Indonesia_declaration_of_independence_17_August_1945.jpg)

Agustus tanggal tujuh belas
Hari peringatan bangsa ini bebas
Tapi rakyat masih susah beli beras
Baju pun itu cuma dapat bekas

Sementara pejabat bisa tertawa lepas
Rakyat kelaparan hampir mati lemas
Tak jua mereka bertindak lekas

Rakyat hidup tak jelas
Rakyat mati memelas
Pejabat bersulang anggur dalam gelas
Pejabat acuhkan rakyat berbeda kelas

Pejabat hingar berpesta pora
Rakyat bingar berpura-pura

Pejabat wajib hura-hura
Rakyat tak boleh huru-hara

Rakyat maling dihukum penjara
Pejabat korup lari ke mancanegara

Rakyat berobat diusir rumah sakit
Pejabat disidang kabur pura-pura sakit

Ini yang namanya merdeka?
Kenapa rakyat masih diliput duka?

Sisakan kemerdekaan itu untuk kami
Jika kalian mengaku masih punya nurani

Dirgahayu Indonesia-ku
Jatinangor, Agustus 2014
0

Menolak Lupa #4: Munir

(image source: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/a/a7/Munir_Said_Thalib.jpg)

Satu lagi cerita cukup dramatik
Di republik yang penuh orang baik
Tapi dikuasai orang-orang picik
Kalau tak mau disebut fasik

Tersebutlah munir yang suka mengkritik
Pada peradilan yang jungkir balik
Bukan sok berlagak heroik
Tapi jiwa memang harus patriotik

Melantangkan teriak dan pekik
Untuk keadilan orang terbunuh dan terculik

Anjing-anjing mulai terusik
Karna munir terus menghardik
Mereka mencari cara terlicik
Untuk membuat sang aktivis tercekik

Adalah Polycarpus,si pilot yang cerdik
Dengan beberapa tetes racun arsenik
Cukup membuat perut munir tercabik
Sukses bikin satu awak pesawat panik

Di akhir cerita yang tak bahagia
Munir gugur di langit Rumania
Sebagai pejuang hak asasi manusia
Sementara pemerintah mendadak amnesia

Tidak, Munir tak boleh mati sia-sia!
Kita teruskan semangat dan cita-citanya yang mulia
Demi tegaknya keadilan di bumi Indonesia

Atas nama kemanusiaan,
Jatinangor,Agustus 2014

Kamis, 14 Agustus 2014

0

Menolak Lupa #2: Udin

(image source: http://www.yudhe.com/wp-content/uploads/2013/02/udin.jpg)

ini kisah naas
udin, wartawan harian bernas
yang memuat berita pedas
membuat telinga para kolonel panas,

teror lalu mencekam
intimidasi,serta mengancam
tuk membuat sang jurnalis bungkam
tapi api itu tak kunjung padam,

mereka semakin geram
kepala udin dibikin remuk redam
badan penuh lebam
dihantam seribu palu seribu godam
pada selasa malam yang kelam,

kini hanya tersisa kesedihan mendalam
pada sosok juruwarta yang terbaring di makam
di mana keberanian dan kejujuran bersemayam,
...

katanya pelanggaran ham
tapi orang-orang hanya diam
fakta dibuat buram
dengan rekayasa teramat kejam
sudah luka, ditabur garam,

bukan ingin membalas dendam
tapi,bahtera keadilan tak boleh karam.

Atas nama kemanusiaan,
Jatinangor,Agustus 2014

Rabu, 06 Agustus 2014

0

Doppelganger

0

Schizophreniac (OSE)

Minggu, 27 Juli 2014

0

Tentang Atheis



(image source: http://hehemahita.files.wordpress.com/2012/12/hi-res-wallpapers-atheism-25359755-1280-720.jpg?w=546&h=307)

Ketikan ini bukan untuk menyebarluaskan paham atheis. Bukan seperti usaha ‘kristenisasi’ yang ditakutkan kaum muslim radikal atau ‘islamisasi’ yang membuat kaum kristen (protestan&katolik) radikal menjadi paranoid. Saya bukan seorang atheis. Setidaknya sampai ketikan ini dibuat, saya belum tertarik untuk menjadi atheis. Saya seorang katolik tulen yang kebetulan bersimpati atas keberadaan orang atheis ini. 
Saya hanya ingin menyampaikan kegundahan hati saya atas beberapa hal yang saya anggap sebagai ‘mispersepsi’ terhadap orang-orang atheis.
Sebelumnya, ijinkan saya menceritakan dari awal bagaimana simpati dan kegundahan hati saya itu muncul.

Sebagai seorang katolik, sejak kecil saya diajarkan (atau didoktrin) tentang Tuhan dan segala yang berhubungan dengan ketuhanan itu dari perspektif katolik. Sehingga keberadaan dan kekuasaan Tuhan adalah menjadi hal yang mutlak harus diterima.
Saya mengira semua orang juga memegang ajaran (atau doktrin) yang sama dengan yang  terima. Tetapi seiring waktu saya mulai bertemu dengan orang-orang yang berbeda agama dengan saya. Meskipun doktrinnya berbeda, tetapi tetap satu benang merah, yaitu adanya Tuhan di atas segalanya.

Rabu, 23 Juli 2014

0

Sleep Paralysis

(image source: http://sleepingresources.com/wp-content/uploads/2011/12/Sleep-Paralysis.jpg)
Hampir setiap orang pernah mengalami sleep paralysis atau ketindihan. Dimana otak kita tersadar dari tidur tapi kehilangan kendali atas tubuh untuk beberapa saat, terkadang cukup lama. Menakutkan bukan? Setidaknya untukku itu sangat menakutkan. Meskipun aku sering mendengar penjelasan ilmiah bahwa sleep paralysis adalah reaksi tubuh yang normal karena letih berlebihan yang dialami otak dan tubuh. Tetap saja saat mengalaminya aku serasa mau mati. Apalagi terkadang sleep paralysis tersebut diikuti dengan halusinasi yang menyeramkan.

Seperti tadi malam, aku kembali mengalami sleep paralysis. Tubuhku terasa sangat sulit kugerakkan, bahkan untuk berteriak pun tak sanggup. Yang lebih menakutkan lagi, di tengah usahaku untuk mengambil kendali atas tubuhku aku seperti melihat seseorang memegang pisau besar berdiri di samping adikku, Tony, yang tengah tertidur -aku berbagi kamar dengan adikku dengan ranjang terpisah-. Alih-alih mendapatkan kembali kesadaranku secara penuh, aku justru kembali tertidur setelah cukup lama berjuang untuk sadar.

Senin, 21 Juli 2014

0

Coulrophobia

(image source: http://www.evilclowns.org/wp-content/uploads/2013/10/evil-Clown-Cartoons7-252x300.jpg)
Aku benci badut. Sejak kecil aku memiliki ketakutan berlebihan akan sosok badut. Aku tak mengerti mengapa anak-anak kecil menyukainya, bahkan orang dewasa lain pun suka.
Teman-temanku yang seharusnya mengerti dan maklum akan phobia-ku ini, justru sering mengolok dan memermainkanku. Mereka bilang 'bahkan anak kecil lebih berani daripada kamu.'
Huh, andai saja mereka juga bisa merasakan ketakutan yang sama denganku.
0

Kembar

(image source: http://legend.az/uploads/posts/2011-10/1320090037_bampw-baby-cute-sleep-twin-favim.com-132247.jpg)
Aku memiliki saudara kembar identik. Namanya Jack. Kami sangat mirip. Maksudku secara fisik kami susah dibedakan. Ukuran tubuh,warna kulit,dan bahkan potongan rambut kami sama. Tetapi sifat kami sangat bertolak belakang. Jack adalah anak baik-baik. Ia hampir tidak memiliki masalah dengan siapa pun. Sedangkan aku, bisa dibilang aku agak 'nakal'. Orang tuaku tak kan terkejut saat melihatku pulang dengan penuh luka akibat berkelahi.
Meski begitu aku dan jack saling menyayangi dan menjaga satu sama lain.

0

Mannequin

(image source: https://c1.staticflickr.com/1/177/368334505_47ab0ddd4c_z.jpg)
Sudah 4 tahun aku membuka butik ini. Penghasilan dari butik ini cukup untuk memenuhi kebutuhan harianku karena hampir setiap hari butik ini ramai pengunjung.
Tetapi entah mengapa sudah 3 bulan ini butikku sepi sehingga penghasilanku menurun drastis. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan harianku aku terpaksa berhutang pada seorang lintah darat.
2 hari yang lalu lintah darat itu mendatangi butikku untuk menagih uang tebusan karena hutangku telah jatuh tempo. Ia datang bersama seorang yang tak kukenal, tampangnya seram dan berbadan tinggi besar. Ia mengancamku jika sampai hari ini aku tak membayar hutangku maka ia akan menyuruh orang-orangnya untuk mengambil semua mannequin yang ada di butikku.
0

My Parents

Aku sangat sedih karena harus melihat kedua orang tuaku berpisah. Ayahku meninggalkan aku dan ibuku. Dan aku lebih sedih lagi mengetahui bahwa akulah penyebab hal itu terjadi.
Aku kasihan melihat ibuku ditingal ayahku. Maka untuk menebus kesalahanku, aku berniat menyatukan mereka kembali. Ah,tapi itu lebih susah daripada yang kubayangkan. Namun usahaku ternyata tak sia-sia. Ibuku kembali bersama dengan ayahku.
Tapi kesedihanku tak kunjung reda. Karena kini akulah yang ditinggalkan mereka berdua.
Rest in peace,mom dad.

(image source: http://www.halloweenmart.com/media/core/SU81765_COMMODORE_TOMBSTONE.jpg)

Minggu, 20 Juli 2014

0

Cinderella

(image sourece: http://www.examiner.com/images/blog/EXID23584/images/Tichenor_Cinderella.jpg)
Aku bangga dengan anakku. Di usianya yang masih muda ia sudah menunjukkan bakat sebagai seorang sutradara hebat. Ia aktif di ekskul teater sekolahnya untuk menyalurkan bakat dan hobinya tersebut. Aku sering menonton pertunjukkan yang ia sutradarai. Dari situ aku dapat menilai bahwa ia sangat memerhatikan totalitas dan profesionalismenya.
Kemarin ia memberitahuku bahwa hari ini ia dan teman-temannya akan menampilkan pertunjukan drama Cinderella. Sayangnya aku tak dapat menontonnya, banyak rapat penting yang harus kuhadiri hari ini juga.
Satu jam sebelum pertunjukkan aku sempatkan menelponnya untuk meminta maaf atas ketidakhadiranku dan menyemangatinya.
'Tak apa-apa,pa. Terima kasih papa sudah menelponku. Tapi kupastikan papa menyesal tidak melihat pertunjukkan terhebatku ini.'
...
0

Blackberry Messenger

Aku dan pacarku, Bianca, sangat menyukai petualangan. Kami senang pergi ke tempat yang menantang dan menakutkan untuk sekedar menguji nyali kami.
Seperti kemarin malam, kami mendatangi sebuah rumah yang telah puluhan tahun tidak ditinggali. Konon rumah tersebut berhantu, maka kami sepakat mendatangi rumah itu malam-malam, karena hantu tak mungkin muncul di siang hari kan?
Tetapi setelah mengitari rumah tersebut selama 3 jam kami tak menemukan apa-apa, lalu kami memutuskan untuk segera kembali.
...
Pagi ini Bianca sangat menyebalkan, dia tak membalas pesan yang aku kirim melalui Blackberry Messenger, tak seperti biasanya. Hanya muncul tanda 'R' sebagai indikasi bahwa pesanku telah terbaca tanpa ada balasan. Aku berniat menemuinya sepulang sekolah siang nanti karena kami berbeda sekolah, jika sampai nanti ia tak kunjung membalas.
Benar saja, sampai bel pulang sekolah sama sekali tak ada jawaban darinya, kemarahanku hikang berganti kecemasan. Segera aku menuju ke rumahnya. Ah, itu dia baru pulang dari sekolah, dan dia terlihat baik-baik saja. Sepertinya aku memang harus memarahinya.
'Bianca' aku memanggilnya.
Ia menoleh. 'Marcel? Kebetulan ada ingin aku bicarakan padamu.'
'Aku juga. Tapi kau sajalah dulu.'
Aku masih menahan emosiku.
'Ponselku,sepertinya tertinggal di rumah yang kita datangi semalam, aku tak bisa menemukannya sejak pagi, maukah kau menemaniku mencarinya ke sana?'
Aku bergeming tak menjawab.

Sabtu, 19 Juli 2014

0

Tetanggaku


(image source: http://cdn.klimg.com/vemale.com/p/Misteri-Rumah-Kosong-Tetanggaku.jpg)
Aku memiliki sahabat terbaik yang juga sekaligus sebagai tetanggaku. Ia tinggal tepat di depan rumahku. Kami selalu bermain bersama sejak kecil. Tapi kini saat kami duduk di bangku SMP dia memilih aktif di organisasi pramuka sedangkan aku tidak sehingga waktu bermain kami tak sebanyak dulu lagi.

Aku sangat kesal dengannya hari ini. Ia tidak mengunjungiku hingga sore. Aku mencoba mendatangi rumahnya tapi di sana sangat sepi dan tertutup. Sepertinya dia dan keluarganya sedang pergi. Tapi mengapa ia tak memberitahuku? Huh.

Aku kembali ke rumah dan terus memandangi rumahnya berharap ia cepat kembali untuk aku marahi tentu saja.Tapi hingga hari beranjak gelap rumahnya masih sepi. Saat aku bersiap tidur aku buka jendela kamarku yang menghadap ke rumahnya. Ah sepertinya lampu teras rumahnya korslet. Tadi sore aku tidak menyadari lampu tersebut berkedip-kedip seperti sekarang. Aku terus memandangi lampu tersebut. Menyala pendek tiga kali,nyala panjang tiga kali, menyala pendek lagi tiga kali lalu mati cukup lama, begitu seterusnya. Entah mengapa aku justru merasa gelisah.

Jumat, 18 Juli 2014

0

Pesta Kostum

The Slenderman
(image source: http://img2.wikia.nocookie.net/__cb20130422213456/the-rp-fear/images/9/9f/Slender_Man.jpg)
Aku adalah penggila horor. Aku sangat menyukai hal-hal yang berbau horor. Meskipun, jujur, aku adalah seorang yang sangat penakut. Yah, hal kontradiktif semacam itu lumrah terjadi dalam hidup kita kan?
Kecintaanku akan horor memertemukanku dengan sekelompok orang yang tergabung dalam komunitas horor. Aku pun memutuskan bergabung dalam komunitas tersebut dan aktif dalam setiap even mereka. Seperti malam itu, tepat di malam helloween, kami sepakat mengadakan pesta kostum. Pesta kostum tersebut wajib dihadiri semua anggota dengan ketentuan semua memakai kostum tokoh horor dan tidak boleh memakai kostum sama yang telah dipakai orang lain. Aku beruntung aku memeroleh hak untuk mengenakan kostum the slenderman. Aku sangat senang, awalnya
0

Senyum Hello Kitty

(image source: http://www.polyvore.com/cgi/img-thing?.out=jpg&size=l&tid=59769771)
Kemarin adalah hari ulang tahunku. Pacarku memberikanku kado sebuah boneka Hello Kitty yang sangat lucu. Aku sangat menyukainya sampai-sampai hari ini waktuku banyak kuhabiskan untuk memandanginya. Seperti saat ini,aku tengah memandangi boneka itu ketika ponselku berbunyi. Ah rupanya pacarku yang menelpon.
'Halo sayang.'
'Halo,gimana kado dariku kemarin sayang? Apa kau suka?'
'Sangat suka. Kau tahu hampir sepanjang hari ini aku terus memandanginya.'
Pacarku tertawa. 'Kau berlebihan sayang.'
'Tapi aku memang sangat menyukainya. Apalagi melihat senyum boneka itu yang seperti memang ingin ia tunjukkan untukku.'
Tak ada jawaban sesaat. 'Sayang,buang boneka itu.'
'Buang? Apa maksudmu? Bukankah ini kado darimu? Lagipula aku sudah bilang aku sangat menyukainya kenapa aku harus membuangnya?'
'Dengarkan aku sayang kumohon,buang boneka itu sekarang juga.'
Aku tak menjawab dan justru memutuskan telepon karena kesal dengan sikapnya itu. Dasar aneh.
0

Reflection

(image source: http://31.media.tumblr.com/447903c54d64692001874180101fd9e2/tumblr_mgux3m1Wpa1r55c6co1_1280.jpg)
Dita sedang menulis sesuatu dan tampak murung saat kutemui di kelasnya.
'Apa kau ada masalah?'
'Belum,tapi sepertinya akan.'
'Ada apa? Ceritakan padaku.' Dita berhenti menulis.
'Kau takkan percaya.'
'Hei aku teman terbaikmu,aku tahu kau takkan pernah berbohong padaku.' Dia memandangku lebih dalam dan menghela nafas.
'Bayanganku..'
Aku memandangnya heran. 'Ada apa dengan bayanganmu?'
'Bayanganku di cermin kamarku hilang. Aku tak bisa lagi melihat bayanganku di cermin itu.'
'Apa maksudmu?'
'Pagi ini seperti biasa sebelum berangkat ke sekolah aku bersolek di depan cermin di kamarku itu. Tapi aku terkejut mendapati tidak ada bayanganku di cermin itu.'

0

Kolong kasur

(image source: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYcBNS7O_loyN3tooO404ggpAdJ4vpy5gwA98aTvRC-n21j1PhMb5nU3a9Urnhhtblo7rINZbyaSBW5D5mreDWixNit3kpfF1yTL7JJ9ENB0XhsIohLvKxJebw6qXTYUk15vvrt_jdjMI/s1600/work.3186165.2.flat%252C550x550%252C075%252Cf.who-owns-them-boots-beneath-the-bed-where-my-old-boots-should-be.jpg)
Pagi ini aku mendapati anakku tidur di kolong kasurnya.
'Nak bangun,kenapa kau tidur di sini?'
'Aku takut tidur di atas sana mom.'
Aku tersenyum. 'Tak ada yang perlu kau takuti nak. Bangunlah hari sudah siang.'
Ia keluar dari 'persembunyian'nya.
'Lihat badanmu jadi kotor karena debu di situ. Bukankah di bawah situ juga menakutkan.'
'Paling tidak aku punya teman tidur di situ mom',jawab anakku sambil berlalu.