Kamis, 21 Agustus 2014

0

Sinta: Stockholm Syndrome

Dewi Sinta (image source: http://cdn.shopify.com/s/files/1/0152/9417/products/maskedart_wayang_dewi_shinta_jepara_09_1024x1024.jpg?v=1339342838)

Rahwana tertegun melihat Sinta yang terlelap di kamar yang telah Rahwana sediakan untuk Sinta. Kakak Dursasana tersebut terpukau oleh kecantikan Sinta yang telah lama Ia dengar dari omongan orang tetapi baru kali ini ia lihat langsung dengan mata bulat besarnya.

Dengan bantuan Kala Marica, anak buahnya, Rahwana berhasil membawa kabur Dewi Sinta ke Istananya dengan sedikit tipu musihat seperti yang biasa ia lakukan. Tetapi saat tiba di Alengka, Sinta jatuh pingsan karena ketakutan melihat sosok para raksasa di kerajaan tersebut, hingga Ia hanya dibaringkan di sebuah kamar yang lebih  layak untuk tamu kehormatan Kerajaan dibandingkan untuk seorang tawanan. 

Sinta siuman saat hari menginjak senja.

“Makanlah, kau sudah dua hari tak menyantap apapun”, ucap Rahwana sambil menyodorkan ke pada Sinta makanan yang telah dihidangkan pelayannya.

Sinta hanya diam dan menatap tajam pada Rahwana. Rahwana merasakan emosi kebencian pada diri Sinta, tetapi Ia juga prihatin atas kondisi Sinta yang terus melemah karena Ia sama sekali tak berkenan menerima makanan apapun di Alengka sejak Ia diculik Rahwana dari tangan Rama.

“Aku tak ingin menyakitimu, dan percayalah aku tak akan lama memisahkanmu dari Rama. Aku tahu kalian saling mencintai dan aku selalu menghargai perasaan seperti itu. Aku melarikanmu ke sini hanya untuk memberi pelajaran kepada Rama. Ini murni perkaraku dengan dia dan tak ada hubungannya denganmu, maafkan aku telah lancang melibatkanmu dalam perang ini.”

Sinta bertahan dalam diamnya namun kali ini bukan lagi karena rasa bencinya melainkan ia terkejut atas sikap Rahwana yang lembut ini. Ini juga kali pertama Sinta bertemu langsung dengan Rahwana, sebelumnya ia hanya mendengarkan kisah Rahwana dari ucapan Rama dan orang-orang terdekat Rama di negara Ayodya. Buruk rupa, angkara murka dan licik, itulah gambaran sosok Rahwana yang didapat Sinta dari cerita orang-orang itu. Ia memang jauh dari kesan tampan karena memang Ia adalah seorang Buto (raksasa buruk rupa), ia juga menggunakan cara licik untuk menculik Sinta. Tapi Sinta sama sekali tak mendapati sifat beringas yang sering ia bayangkan dari Rahwana. 

Namun Sinta  tak mau terlena oleh sikap Rahwana tersebut, Ia berpikir Rahwana hanya berpura-pura baik untuk mengambil hati Sinta.

“Baiklah akan kutinggalkan makanan ini bersamamu, kuharap kau bersedia memakannya nanti.” Rahwana melangkah pergi keluar kamar itu.

Setelah bayangan Rahwana menghilang dari pandangannya, Sinta kembali tenggelam dalam air mata. Ia sangat sedih berpisah dari Rama dan ia sangat merindukan kekasihnya itu.

...

Begitulah seterusnya selama seminggu berturut-turut Sinta masih enggan berbicara dan tak mau makan hingga hari ke-tujuh dalam masa penculikan atas dirinya oleh Rahwana, Sinta jatuh sakit. Rahwana panik mengetahui kondisi Sinta yang sekarat. Hampir semua tabib yang ada di Kerajaannya ia panggil untuk menyembuhkan Sinta, beberapa menyerah karena ternyata Sinta bukan hanya sakit kurang makan namun kondisi kritisnya juga disebabkan suatu penyakit langka yang sudah lama diderita Sinta yang kini kambuh karena kondisi tubuh Sinta yang sangat lemah. Tabib lain yang cukup handal mengatakan bahwa penasea dari penyakit tersebut adalah ramuan yang menggunakan bahan dari sebuah bunga ajaib yang hanya tumbuh di dasar laut terdalam.

Tanpa pikir panjang lagi, Rahwana segera mencari bunga tersebut meskipun hal itu cukup sulit baginya sekalipun ia adalah seorang Raja raksasa.

Sebenarnya reaksi spontan dirinya atas kejadian yang menimpa Sinta ini juga membuat Rahwana sendiri bingung, mengingat Sinta adalah kekasih dari musuh besarnya, tak ada keuntungan baginya untuk menyembuhkan Sinta, justru seharusnya dengan matinya Sintalah ia dapat membalas Rama. Tetapi kini ia tak mau memikirkan itu. Ia terus berlari menuju lautan untuk menyelamatkan wanita cantik yang kini tengah menjadi tawanannya itu. Cantik? Ya, bahkan Rahwana sendiri tak menampik bahwa hatinya tergetar saat pertama menatap wajah Sinta. “Ia lebih cocok tinggal di Kahyangan dan menjadi salah satu bidadari di sana daripada menjadi manusia di bumi” begitu pikir sang Raja Alengkadireja. Ada perasaan ingin melindungi wanita cantik itu, meskipun Ia sadari kini posisinya adalah penculik Sinta. Ia bahkan tak tega menyentuh wanita yang terlihat suci itu, meskipun ia sangat ingin, karena ia sadar ia adalah seorang Buto  yang hanya membawa kenajisan bagi wanita seperti Sinta. Semua pelayan yang Ia perintahkan untuk melayani dan menjaga Sinta adalah wanita. Ia sedikit menyesal telah mengutus Kala Marica yang buruk rupa seperti dirinya untuk merampas Sinta.. Adakah ia telah jatuh hati kepada Sinta? Pikiran-pikiran membingungkan itu terus berkecamuk di kepala Rahwana tanpa bisa ia jawab, hingga tanpa sadar ia telah sampai di tepi samudra. 

Rahwana berdiri terdiam. Sejenak ia ragu, benarkah langkah yang akan diambilnya ini? 

Tak perlu waktu lama bagi Rahwana untuk membuat dirinya menyadari hatinya mutlak telah diliputi cinta kepada Sinta. Tak ada lagi keraguan, ia memantapkan niatnya untuk mencari bunga ajaib dan menyelamatkan Sinta.

Bukan sebuah petualangan yang mudah untuk mencari bunga tersebut. Rahwana memang bisa bertahan di dalam lautan bahkan sampai dasarnya, tetapi kesaktiannya melemah dan tak sekuat saat berada di darat. Dan celakalah ia, meskipun tak sulit menemukan keberadaan bunga ajaib (karena telah dibekali petunjuk tabib) Rahwana harus berhadapan dengan raksasa lautan yang besarnya 10 kali lipat tubuh Rahwana. Tetapi dengat niat dan ketulusannya menolong Sinta, Rahwana berhasil mengalahkan raksasa lautan itu dan mendapatkan bunganya meski harus menderita beberapa luka serius akibat pertempuran dengan Raksasa lautan.

Rahwana kembali ke Alengka membawa bunga ajaib yang didapatnya dengan harapan dapat menyelamatkan Sinta. Ia disambut para saudaranya yang heran melihat pengorbanannya untuk seorang tawanan. Rahwana berdalih nyawa Sinta penting untuk menaklukan Kerajaan Ayodya.

Sesuai harapan Rahwana, Sinta sembuh berkat bunga yang ia dapatkan dengan memertaruhkan nyawanya.

“Kau sudah sembuh? Makanlah yang banyak untuk memulihkan kondisimu,” ucap Rahwana.

“Aku ucapkan terima kasih atas bunga itu, tapi aku tak kan luluh karena itu,” jawab Sinta, dingin. “Sejujurnya akan lebih baik bagiku untuk mati sekarang di sini.”

“Mudah bagiku untuk membantumu mewujudkan keinginanmu itu. Tapi aku tak akan membiarkanmu mati sekarang, aku ingin kau lebih bisa menghargai hidupmu sendiri dan hidup orang lain. Bukan karena aku yang memberimu bunga itu, tapi karena aku percaya bukan takdirmu untuk mati sekarang, di sini.”

“Menghargai hidup katamu? Bagaimana dengan hidup orang-orang yang telah kau bunuh? Kau menghargainya dengan membunuh mereka?”

Rahwana terlihat menahan kegusarannya dan meninggalkan Sinta.

Sinta telah berbohong dengan mengatakan dirinya tak luluh oleh perjuangan Rahwana mendapatkan bunga itu, setidaknya sedikit bagian hatinya telah tersentuh oleh Rahwana. Ia tahu betul tak mudah mendapatkan bunga itu, apalagi seorang diri. Dalam hatinya juga bertanya tentang apa yang memotivasi Rahwana hingga berbuat sejauh itu untuk dirinya.
Prabu Rahwana (image source: http://wayang.files.wordpress.com/2010/07/rahwana.jpg)

...

“Tuan memanggil saya?” tanya Hanoman kepada Rama.

“Iya Hanoman, ada tugas cukup berat yang hendak kuberikan padamu.”

“Apapun titah Tuan, saya siap laksanakan,” jawab Hanoman mantap.

...

Sinta tersentak dari lamunannya setelah mendengar suara yang tak asing baginya memanggilnya.
“Tuan Putri..Tuan, di sini.” 

Sinta mencari sumber suara dan mendapati Hanoman berada di luar jendela kamar tersebut.

“Hanoman? Apa yang kau lakukan di sini? Darimana kau bisa sampai ke tempat ini?”

“Saya ke sini diutus oleh Prabu untuk memata-matai Alengka dan melaporkan kondisi Tuan Putri. Sebentar lagi Prabu Rama akan membawa pasukan ke sini untuk menyelamatkan Tuan Putri sekaligus menyerang Alengka.”

“Terima kasih Hanoman. Sampaikan pada Rama aku baik-baik saja di sini, aku bisa menjaga diriku sendiri dan aku akan menunggunya menjemputku.”

“Baik Tuan Putri, maaf hanya itu yang bisa saya lakukan karena keadaan tidak memungkinkan untuk saya membawa Tuan Putri sekarang.”

“Tak apa Hanoman, pergilah sekarang dan berhati-hati mereka bisa menangkapmu.”

Ucapan Sinta benar, Hanoman tertangkap oleh Indrajit sebelum sempat kembali melapor kepada Rama. Dia diikat dan diarak ke alun-alun Alengka untuk dibakar beramai-ramai. Namun karena kegesitannya Hanoman berhasil melepaskan diri dari ikatan tersebut dan justru membakar sebagian besar kerajaan Alengka. Dia segera meninggalkan Alengka setelah merasa cukup untuk membuat kerusuhan di sana.

Tak lama setelah itu Rama membawa seluruh pasukannya meggempur Alengka. Terjadi peperangan besar dan panjang antara para ksatria Ayodya beserta pasukan kera melawan para raksasa Alengka. Pihak Rama berhasil memenangkan pertempuran dan membawa Sinta kembali.

...

Sinta tengah melamun di kamarnya sekembalinya ia ke Ayodya.

“Permisi tuan putri, ini saya bawakan makanan untuk tuan putri.”

“Terima kasih mbok, taruh saja di meja itu nanti aku makan.”

Mbok Parmi mendekati Sinta.“Tuan putri kenapa? Sejak pulang dari Alengka Tuan putri selalu muram mbok lihat. Bukankah semestinya Tuan putri senang bisa kembali ke sini bersama Yang Mulia Sri Rama?” 

Sinta mendesah. “Apa gunanya aku kembali ke sini mbok, kalau sama saja aku harus dikurung dalam kamar ini tanpa boleh keluar? Kakanda Rama menyuruh banyak pengawal untuk menjaga agar aku tidak keluar dari sini. Apa bedanya dengan saat aku diculik Rahwana?”

“Jangan begitu Tuan Putri. Yang Mulia melakukan ini demi kebaikan tuan putri sendiri. Kita semua tahu, Alengka telah dikalahkan, tetapi Rahwana belum juga ditemukan, entah hidup atau mati. Yang Mulia masih takut dengan bahaya yang dapat mengancam Tuan Putri.”

“Lalu sampai kapan aku harus diperlakukan tak lebih dari seekor burung seperti ini? Lagipula kenapa kakanda tidak pernah memanggil untuk bertemu dengannya? Atau datang ke sini sendiri menemui istrinya ini?”

Kali ini mbok Parmi tidak tahu harus menjawab apa. Ia sendiri bingung dengan perlakuan Rama terhadap Sinta ini. Air mata Sinta mengallir dan perlahan menderas. Ia menangis dalam pelukan mbok embannya tersebut.

...

“Ritual bakar diri Yang Mulia?”

“Iya”

“Yang mulia yakin?”

“Apa aku terlihat bergurau, Patih?”

“Maafkan hamba Yang Mulia. Hamba takut keputusan ini justru akan menyakiti hati Permaisuri Sinta dan merusak hubungan pribadi antara Yang mulia dengan permaisuri.”

“Itu urusanku. Laksanakan saja perintahku.”

“Baik Yang Mulia”

...

Mbok Parmi hendak mengantar makanan kepada Sinta ketika dilihatnya dua orang parjurit yang biasa menjadi pengantar pesan raja keluar dari bangsal Sinta. Mbok Parmi penasaran apa yang Rama sampaikan pada istrinya yang telah 4 hari seperti ia acuhkan itu.

Mbok Parmi terkejut mendapati Sinta menangis sesenggukan di balik bantal. Segera ia menghampiri Sinta.

“Ada apa tuan Putri?”

“Katakan mbok, apa memang cinta sebegini menyakitkan? Aku sudah menjaga hatiku dengan sumpah setia kepada Kakanda Rama, tapi mengapa ia abaikan kesetiaanku dan menjawabnya dengan ketidakpercayaan?”

“Apa maksud tuan putri?”

“Kakanda Rama, ia ingin aku melakukan ritual bakar diri untuk membuktikan kesucian diriku. Ia tak memercayaiku yang telah menjaga kehormatanku, di Alengka sekalipun.”

Mbok Parmi terkejut “Maaf, tapi ini sudah keterlaluan menurut hamba tuan putri. Kita semua tahu ritual itu omong kosong para leluhur kita. Tuan putri akan terbakar walapun benar tuan Putri tidak seperti yang ditakutkan Yang Mulia Rama. Sekalipun tuan Putri seperti yang dituduhkan oleh Yang Mulia, dia sepatutnya menerima tuan Putri apa adanya, karena tuan Putri istrinya.” 

Mbok Parmi sudah tidak bisa membohongi dirinya sendiri dan Sinta, bahwa ia pun jengah dengan sikap Rama terhadap Sinta belakangan ini. Malah sekarang Rama dengan congkaknya menitahkan hal yang berbahaya bagi istrinya sendiri. Tapi ia pun bingung harus bagaimana untuk menolong Sinta karena ini titah Raja.

Mbok Parmi menawarkan diri untuk membantu Sinta bila ia ingin melarikan diri dari Istana yang sudah bukan lagi rumah baginya ini.

“Tidak mbok, lebih baik aku mati dalam api itu, walaupun orang akan melihatku sebagai wanita yang tak suci, daripada hidup dengan konsekuensi yang sama. Tak ada lagi yang bisa kuharapkan dari hidup ini, cinta kakanda Rama padaku mungkin telah hilang tertiup angin jaman.”

Mbok Parmi tak bisa mencegah keputusan Sinta itu meski dalam hati ia ingin menyelamatkan majikan yang telah ia asuh sejak kecil dengan kasih sayang seperti pada anaknya sendiri tersebut.

“Semoga para dewa kahyangan melindungi Tuan Putri dalam bara dan api itu,” ucap Mbok Parmi dengan sedih.

...

Di alun-alun kota Ayodya, penduduk berkumpul untuk ikut menjadi saksi ritual bakar diri Ratu mereka. Beberapa anak kecil dan remaja serta wanita terlihat menangis menunjukkan simpati dan iba mereka kepada Sinta. Sedangkan laki-laki dan tetua tampak lebih antusias untuk mengetahui kebenaran yang akan ditunjukkan dari ritual yang telah puluhan tahu tak pernah dilakukan lagi itu.

“Maaf Yang Mulia, semua persiapan telah selesai tinggal menunggu Yang Mulia Sinta hadir di sini.”

“Panggil dia.”

“Baik Yang Mulia.”

Sinta datang dengan pandangan kosong namun langkahnya tegas. Tak terlihat sedikit pun gurat ketakutan. Sebentar dia melihat ke arah Rama, bukan untuk mengharap iba, ia tahu iba itu tak lagi ada pada diri Rama, hanya ingin melihat ekspresi Rama melihat wanita yang dulu susah payah ia dapatkan dari sayembara itu jatuh dalam bara api yang jahat. Rama hanya terdiam menjaga wibawanya.

Sampailah Sinta di tepi panggung yang mengarah ke api pembakaran. Semua yang menyaksikan tak mampu berkata, beberapa bertahan dalam tangis mereka. Seorang prajurit  memberikan aba-aba agar Sinta segera melompat. Tak ada keraguan dalam hati Sinta yang telah hancur, untuk melompat dalam bara api. Beberapa wanita menjerit tak tega menyaksikannya.

Kejadian itu sangat cepat. Tapi semua yang menyaksikan tak meragukan pandangan mata mereka. Tubuh Sinta menghilang, sesaat setelah dia melompat. Ya, menghilang! Tepat sebelum lidah api menjilat tubuhnya. Hening sesaat kemudian keributan kecil terjadi. Rama dan beberapa orang Istana dan warga terpaku. Beberapa orang berpekik “Hidup Sinta! Hidup Sinta!” kemudian diikuti yang lain.

Rama tak tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan lugunya, ia memeritahkan semua prajurit untuk mencari Sinta ke seluruh penjuru Ayodya.

...

“Kau tak apa-apa? Apa aku terlambat mendapatkanmu tadi?” Rahwana memapah Sinta duduk di sebuah pohon besar.

“Kenapa kau menyelamatkanku?”

“Kenapa? Kau yang kenapa? Kau mau saja menuruti Rama untuk bakar diri. Itu ritual bodoh. Cintamu pada Rama takkan menyelamatkanmu dari api itu.”

“Sudah tak ada lagi cinta dalam hatiku. Lagipula aku memang ingin mati.”

“Mau mati juga harus punya alasan. Jangan bodoh” 

“Kau sendiri? Kau punya alasan menyelamatkanku? Dan aku ingat, ini bukan yang pertama kalinya.” 

“Aku hanya tak suka melihat orang menjadi bodoh karena cinta.” Rahwana berusaha menutupi perasaannya pada Sinta. Tanpa sadar, ucapannya justru menyindir dirinya sendiri.

“Aku minta maaf karena telah lancang menyentuhmu. Tak terpikirkan olehku cara lain untuk menolongmu tadi.”

Sejenak Sinta terdiam. Rahwana menyangka kali ini Sinta benar-benar marah padanya.

“Kau, kupikir kau sudah mati.”

“Aku memang terkena panah Rama dan hampir mati saat itu. Tapi ketika Rama mendatangi tubuhku yang telah tumbang tiba-tiba satu cahaya kilau,entah darimana, menutupi tubuhku hingga kasat mata, lalu membawaku menjauh dari medan perang itu dan menyelamatkan nyawaku.”

Cerita yang ganjil, tapi Sinta tahu pasti tidak ada setitik kebohongan pun di dalamnya.

"Saat Rama menyerang kerajaanmu, kau tahu kau akan kalah karena Wibisana mengkhianatimu, mengapa kau masih berkeras melawan Rama? Bukankah kau bisa melarikan diri terlebih dahulu?

“Aku menculikmu dengan cara yang memalukan, untuk menebusnya aku harus mengembalikanmu dengan cara yang ksatria: bertarung melawan Rama Wijaya. Meskipun kekalahanku tak terelakan lagi, aku harus menghadapi Rama untuk menyempurnakan kisah cintamu dengannya, atau setidaknya, aku bisa memuliakan diriku sendiri sebelum mati, pikirku saat itu.”

Sinta menatap Rahwana. Bukan tatapan dingin kali ini. Mata itu diliputi haru dan dihiasi setitik air mata di ujungnya. Ia bangkit berdiri berjalan ke arah Rahwana dan memeluknya tiba-tiba. Air mata yang sedari tadi ia bendung kini deras mengalir. Sinta tak dapat menyangkal hati kecilnya, keraguan  Rama padanya telah menumbangkan pohon cinta yang telah lama ia jaga. Tapi kini pohon cinta yang lain -yang lebih kokoh- telah tumbuh dari benih ketulusan yang disebarkan Rahwana.

Rahwana tak tahu apa yang terjadi. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tak tahu harus berucap apa. Untuk seorang Raja Raksasa, ini konyol. Rahwana salah tingkah dalam pelukan wanita yang dicintainya.

“Maaf aku selalu bersikap jahat padamu.” Sinta membuka suara. “Aku selalu berpikiran buruk padamu. Tanpa aku kehendaki justru kau yang selalu pertaruhkan nyawa untukku. Kau memang bajingan. Kau tak hanya menculik diriku dari Rama tapi kau juga menculik hatiku darinya. Tubuhku memang diambil kembali oleh Rama. Tapi hatiku ia tinggalkan di Alengka. Katakanlah Rahwana. Bahwa kau mencintaiku juga.”

Rahwana tak pandai berucap cinta. Tapi dengan membalas dekapan Sinta, Sinta tahu pasti jawabnya.

Lalu kisah cinta yang tak direstui langit ini pun dimulai. Rahwana tinggal di hutan terpencil bersama Sinta –karena Alengka telah porak poranda-. Hidup tanpa gelar Raja dan Ratu, hanya sebagai orang biasa yang saling mencinta.
...
Mbok Parmi tengah memasak dengan tungku hitam tuanya ketika seorang anak kecil berlari ke arahnya. “Nek..nenek, ada surat untuk nenek,” teriaknya.

Mbok Parmi menerima surat daun lontar tersebut. Awalnya dia agak heran membacanya tapi kemudian senyum mengembang di wajah keriputnya.

Sambil menutup kembali surat itu, ia bergumam lirih seraya menatap langit “hati yang tulus adalah hati yang diliput cinta, sekalipun ia terpendam dalam di dada seorang Rahwana.”

“Apa maksudnya nek?”

Mbok Parmi tersenyum pada cucunya. “Bukan apa-apa. Makanlah, nasinya sudah matang.”

END






0 komentar:

Posting Komentar