(image source: http://hehemahita.files.wordpress.com/2012/12/hi-res-wallpapers-atheism-25359755-1280-720.jpg?w=546&h=307) |
Ketikan ini bukan untuk menyebarluaskan paham atheis. Bukan
seperti usaha ‘kristenisasi’ yang ditakutkan kaum muslim radikal atau ‘islamisasi’
yang membuat kaum kristen (protestan&katolik) radikal menjadi paranoid.
Saya bukan seorang atheis. Setidaknya sampai ketikan ini dibuat, saya belum
tertarik untuk menjadi atheis. Saya seorang katolik tulen yang kebetulan
bersimpati atas keberadaan orang atheis ini.
Saya hanya ingin menyampaikan kegundahan hati saya atas
beberapa hal yang saya anggap sebagai ‘mispersepsi’ terhadap orang-orang atheis.
Sebelumnya, ijinkan saya menceritakan dari awal bagaimana
simpati dan kegundahan hati saya itu muncul.
Sebagai seorang katolik, sejak
kecil saya diajarkan (atau didoktrin) tentang Tuhan dan segala yang berhubungan
dengan ketuhanan itu dari perspektif katolik. Sehingga keberadaan dan kekuasaan
Tuhan adalah menjadi hal yang mutlak harus diterima.
Saya mengira semua orang juga
memegang ajaran (atau doktrin) yang sama dengan yang terima. Tetapi seiring waktu saya mulai
bertemu dengan orang-orang yang berbeda agama dengan saya. Meskipun doktrinnya
berbeda, tetapi tetap satu benang merah, yaitu adanya Tuhan di atas segalanya.
(Sebelum saya melanjutkan saya
ingin meminta maaf bila ada yang tidak setuju saya memakai istilah ‘doktrin’,saya
memakainya karena menurut saya istilah tersebut yang paling cocok.)
Saya mulai bertanya mengapa
doktrin yang kami terima berbeda. Saya pikir kebenaran bersifat absolut dan
hanya ada satu. Di sinilah kesalahan yang pertama. Sebagian dari kita, termasuk
saya saat itu, menerima doktrin agama sebagai suatu kebenaran. Sehingga orang
yang memegang doktrin berbeda dengan kita, begitu mudah kita anggap sesat dan
berdosa. Kita juga terlalu takut untuk
memertanyakan kebenaran doktrin agama kita sendiri.
Manakah yang benar : bahwa Yesus
adalah inkarnasi Allah? bahwa Muhammad adalah nabi terakhir utusan Alloh? bahwa
Gautama telah mencapai dharma dan berhasil menjadi Buddha? Atau doktrin agama
lain?
Kemudian saya menyadari bahwa belum
ada satupun orang yang memiliki bukti konkret yang cukup kuat untuk menunjukkan
kepada seluruh orang di dunia ini bahwa salah satu ajaran itulah yang benar. Kita
pun hanya mendengar dari cerita orang dan juga dari kitab suci yang bahkan
keasliannya tak bisa dibuktikan.
Dari situ saya mulai menanamkan
pada diri saya bahwa membuat orang memegang doktrin yang sama dengan kita
(apalagi pemaksaan) adalah salah, meski agama menuntut demikian. Maka saya
mulai mengganti kata ‘kebenaran’ tersebut menjadi ‘keyakinan’, karena kebenaran
bersifat universal sedangkan keyakinan adalah personal.
Saya merasa level kecerdasan saya
naik saat itu. Tetapi saya masih memegang keberadaan ‘Tuhan’ sebagai kebenaran
yang paling tidak bisa dibantah. Theisme memberikan argumen ‘semua hal tercipta
pasti ada asal-usulnya, dan asal-usul itu adalah Tuhan dengan kekuasaan tak
terbatas-Nya’. Terkesan cukup logis, tetapi jika dipahami lebih mendalam itu
seperti sebuah kedangkalan logika. Saat itu pun saya merasa pernyataan itu
memang masuk akal.
Bagi theis awam, keberadaan Tuhan
tak selayaknya dipertanyakan, karena akan menggoyahkan iman katanya. Karena
sekali lagi, Tuhan itu memang ada, menurut keyakinan mereka yang mereka anggap
sebagai kebenaran.dan ini kesalahan yang kedua. Saya pun demikian. Maka,
mengetahui adanya sekelompok orang yang terang-terang mengaku tak percaya akan
Tuhan (yang kemudian saya ketahui disebut atheis) adalah suatu hal yang menurut
saya sangat aneh. Mereka ini begitu bodoh atau apa,pikir saya saat itu. Dalam
benak theis, atheis adalah orang berdosa, sesat, tak akan masuk surga, dan
pikiran keji lainnya. Lagi-lagi saya terjerumus pikiran yang dangkal itu.
Saat memasuki remaja, menggunakan
kata ‘atheis’ untuk memerolok orang adalah seperti menggunakan kata
‘bodoh’,’idiot’. Atheis dianggap sebagai orang tak bernalar, yang hanya suka
berbuat jahat dan maksiat karena tak takut (bahkan tak kenal) dengan dosa.
Pemikiran seperti itu terus bertahan hingga saya memasuki bangku kuliah.
Lalu saya menemukan kenyataan,
bahwa atheis itu dekat dengan kita, mereka bukan kelompok terorganisasi yang
berkumpul secara sembunyi-sembunyi seperti yang selama ini saya pikirkan,
konyol memang. Saya memiliki teman, yang saya anggap begitu baik, begitu
cerdas, pemikirannya progresif, saya suka mendengar bila ia mulai mengutarakan
pendapat-pendapatnya. Anehnya, saya baru menyadari belakangan, bahwa ia tidak
memiliki agama, dan ia mengatakan sendiri kepada saya bahwa ia tidak atau belum
percaya kepada tuhan.
Tak perlu saya gambarkan tentang
keterkejutan saya saat itu. Saya belum pernah bertemu dengan orang atheis
selama ini, sekalinya ketemu satu orang, dia langsung menghancurkan gambaran
orang atheis yang selama ini saya bangun berdasarkan pikiran dangkal saya.
Saya mulai tertarik untuk
mengetahui bagaimana orang secerdas dia memilih menjadi atheis. Yang membuat
saya lebih tertarik, teman atheis saya tersebut bahkan jauh lebih bermoral
dibandingkan teman-teman saya yang theis tetapi kebanyakan dari mereka tak
lebih dari sampah.
Dari situlah saya mulai mencari tahu apa itu atheis
sebenaranya? Saya membuang pemikiran-pemikiran kolot saya dan mencoba membuat
persepsi baru tentang mereka.
Makna atheis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu orang
yg tidak percaya akan adanya Tuhan. Berbeda dengan kaum agnostik yang
memosisikan diri di antara sikap percaya dan tidak percaya akan eksistensi
Tuhan.
Saya menemukan website unik yang dapat memberikan informasi
cukup banyak tentang atheisme. Namanya ‘Anda Bertanya Atheis Menjawab’. Website tersebut juga menyediakan ruang
diskusi untuk bertanya soal atheisme dan mereka jawab. Saat pertama kali
membaca artikel-artikel yang dipost dalam website tersebut, saya merasa
seperti, yah, anak SD yang membaca thesis seorang mahasiswa strata 3.
Mereka, yang mengelola website tersebut, lebih mengedepankan
penjelasan ilmiah dalam membuat pernyataan, bukan penjelasan agama atau
penjelasan filsafat. Mereka mencoba membangun citra atheis yang cerdas,
berwawasan, dan mencintai logika. Mereka bukannya sama sekali tak percaya
tuhan, tetapi bila ada seorang yang setidaknya menunjukkan titik terang tentang
keberadaan Tuhan itu mereka akan membuka diri untuk menjadi percaya. Sayangnya,
keberadaan tuhan memang sulit dibuktikan secara fisik, bahkan oleh theis
sendiri. Maka mereka lebih memercayai tentang sesuatu yang benar-benar ada.
Saya kembali menyadari sesuatu yang baru bahwa keberadaan
tuhan bukanlah sebuah kebenaran yang bisa diterima semua orang, dan itu adalah
sebatas keyakinan masing-masing individu seperti halnya doktrin-doktrin agama
yang saya bahas sebelumnya.
Tak ada yang salah dengan menjadi atheis. Sungguh,
kita,orang theis, tak bisa memaksa mereka memercayai tuhan, seperti halnya
orang muslim tak bisa kita paksa percaya Yesus adalah tuhan, orang kristen tak
bisa kita paksa percaya Gautama menjadi Buddha, atau budhist yang tak bisa kita
paksa percaya Muhammad adalah nabi utusan tuhan.
Biarkan keyakinan itu menjadi hak personal masing-masing
individu. Karena tidak percaya akan adanya tuhan juga merupakan sebuah
keyakinan. Lalu hentikan memersepsi atheis sebagai seorang yang suka berbuat
sesuatu yang orang theis anggap sebagai dosa.
Mereka tak mengenal konsep dosa (dan pahala). Mereka hanya
tahu baik dan tidak baik. Bahwa menyakiti seorang itu tidak baik, mereka tidak
memerlukan agama untuk tahu itu. Mereka memiliki pikiran dan hati, dan mereka
benar-benar menggunakannya. Justru sebagian dari kita (theis) yang memegang
aturan agama secara jelas sering mematikan pikiran dan hati kita dan melanggar
aturan yang kita sanjung dan junjung itu. Lalu masihkah kita berpikir kita
lebih bermoral daripada orang atheis?
Saya memang bersimpati kepada atheis, tetapi sampai sekarang
saya masih memegang teguh keyakinan awal saya. Jangan tanya mengapa karena
menanyakan tentang keyakinan seseorang adalah hal paling tidak sopan bagi saya,
dan jangan artikan bahwa saya ingin mengatakan agama katolik adalah yang paling
baik.
0 komentar:
Posting Komentar