Minggu, 27 Juli 2014

0

Tentang Atheis



(image source: http://hehemahita.files.wordpress.com/2012/12/hi-res-wallpapers-atheism-25359755-1280-720.jpg?w=546&h=307)

Ketikan ini bukan untuk menyebarluaskan paham atheis. Bukan seperti usaha ‘kristenisasi’ yang ditakutkan kaum muslim radikal atau ‘islamisasi’ yang membuat kaum kristen (protestan&katolik) radikal menjadi paranoid. Saya bukan seorang atheis. Setidaknya sampai ketikan ini dibuat, saya belum tertarik untuk menjadi atheis. Saya seorang katolik tulen yang kebetulan bersimpati atas keberadaan orang atheis ini. 
Saya hanya ingin menyampaikan kegundahan hati saya atas beberapa hal yang saya anggap sebagai ‘mispersepsi’ terhadap orang-orang atheis.
Sebelumnya, ijinkan saya menceritakan dari awal bagaimana simpati dan kegundahan hati saya itu muncul.

Sebagai seorang katolik, sejak kecil saya diajarkan (atau didoktrin) tentang Tuhan dan segala yang berhubungan dengan ketuhanan itu dari perspektif katolik. Sehingga keberadaan dan kekuasaan Tuhan adalah menjadi hal yang mutlak harus diterima.
Saya mengira semua orang juga memegang ajaran (atau doktrin) yang sama dengan yang  terima. Tetapi seiring waktu saya mulai bertemu dengan orang-orang yang berbeda agama dengan saya. Meskipun doktrinnya berbeda, tetapi tetap satu benang merah, yaitu adanya Tuhan di atas segalanya.
(Sebelum saya melanjutkan saya ingin meminta maaf bila ada yang tidak setuju saya memakai istilah ‘doktrin’,saya memakainya karena menurut saya istilah tersebut yang paling cocok.)
Saya mulai bertanya mengapa doktrin yang kami terima berbeda. Saya pikir kebenaran bersifat absolut dan hanya ada satu. Di sinilah kesalahan yang pertama. Sebagian dari kita, termasuk saya saat itu, menerima doktrin agama sebagai suatu kebenaran. Sehingga orang yang memegang doktrin berbeda dengan kita, begitu mudah kita anggap sesat dan berdosa.  Kita juga terlalu takut untuk memertanyakan kebenaran doktrin agama kita sendiri.
Manakah yang benar : bahwa Yesus adalah inkarnasi Allah? bahwa Muhammad adalah nabi terakhir utusan Alloh? bahwa Gautama telah mencapai dharma dan berhasil menjadi Buddha? Atau doktrin agama lain?
Kemudian saya menyadari bahwa belum ada satupun orang yang memiliki bukti konkret yang cukup kuat untuk menunjukkan kepada seluruh orang di dunia ini bahwa salah satu ajaran itulah yang benar. Kita pun hanya mendengar dari cerita orang dan juga dari kitab suci yang bahkan keasliannya tak bisa dibuktikan.
Dari situ saya mulai menanamkan pada diri saya bahwa membuat orang memegang doktrin yang sama dengan kita (apalagi pemaksaan) adalah salah, meski agama menuntut demikian. Maka saya mulai mengganti kata ‘kebenaran’ tersebut menjadi ‘keyakinan’, karena kebenaran bersifat universal sedangkan keyakinan adalah personal.
Saya merasa level kecerdasan saya naik saat itu. Tetapi saya masih memegang keberadaan ‘Tuhan’ sebagai kebenaran yang paling tidak bisa dibantah. Theisme memberikan argumen ‘semua hal tercipta pasti ada asal-usulnya, dan asal-usul itu adalah Tuhan dengan kekuasaan tak terbatas-Nya’. Terkesan cukup logis, tetapi jika dipahami lebih mendalam itu seperti sebuah kedangkalan logika. Saat itu pun saya merasa pernyataan itu memang masuk akal.
Bagi theis awam, keberadaan Tuhan tak selayaknya dipertanyakan, karena akan menggoyahkan iman katanya. Karena sekali lagi, Tuhan itu memang ada, menurut keyakinan mereka yang mereka anggap sebagai kebenaran.dan ini kesalahan yang kedua. Saya pun demikian. Maka, mengetahui adanya sekelompok orang yang terang-terang mengaku tak percaya akan Tuhan (yang kemudian saya ketahui disebut atheis) adalah suatu hal yang menurut saya sangat aneh. Mereka ini begitu bodoh atau apa,pikir saya saat itu. Dalam benak theis, atheis adalah orang berdosa, sesat, tak akan masuk surga, dan pikiran keji lainnya. Lagi-lagi saya terjerumus pikiran yang dangkal itu.
Saat memasuki remaja, menggunakan kata ‘atheis’ untuk memerolok orang adalah seperti menggunakan kata ‘bodoh’,’idiot’. Atheis dianggap sebagai orang tak bernalar, yang hanya suka berbuat jahat dan maksiat karena tak takut (bahkan tak kenal) dengan dosa. Pemikiran seperti itu terus bertahan hingga saya memasuki bangku kuliah.
Lalu saya menemukan kenyataan, bahwa atheis itu dekat dengan kita, mereka bukan kelompok terorganisasi yang berkumpul secara sembunyi-sembunyi seperti yang selama ini saya pikirkan, konyol memang. Saya memiliki teman, yang saya anggap begitu baik, begitu cerdas, pemikirannya progresif, saya suka mendengar bila ia mulai mengutarakan pendapat-pendapatnya. Anehnya, saya baru menyadari belakangan, bahwa ia tidak memiliki agama, dan ia mengatakan sendiri kepada saya bahwa ia tidak atau belum percaya kepada tuhan.
Tak perlu saya gambarkan tentang keterkejutan saya saat itu. Saya belum pernah bertemu dengan orang atheis selama ini, sekalinya ketemu satu orang, dia langsung menghancurkan gambaran orang atheis yang selama ini saya bangun berdasarkan pikiran dangkal saya.
Saya mulai tertarik untuk mengetahui bagaimana orang secerdas dia memilih menjadi atheis. Yang membuat saya lebih tertarik, teman atheis saya tersebut bahkan jauh lebih bermoral dibandingkan teman-teman saya yang theis tetapi kebanyakan dari mereka tak lebih dari sampah.

Dari situlah saya mulai mencari tahu apa itu atheis sebenaranya? Saya membuang pemikiran-pemikiran kolot saya dan mencoba membuat persepsi baru tentang mereka.
Makna atheis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu orang yg tidak percaya akan adanya Tuhan. Berbeda dengan kaum agnostik yang memosisikan diri di antara sikap percaya dan tidak percaya akan eksistensi Tuhan.
Saya menemukan website unik yang dapat memberikan informasi cukup banyak tentang atheisme. Namanya ‘Anda Bertanya Atheis Menjawab’.  Website tersebut juga menyediakan ruang diskusi untuk bertanya soal atheisme dan mereka jawab. Saat pertama kali membaca artikel-artikel yang dipost dalam website tersebut, saya merasa seperti, yah, anak SD yang membaca thesis seorang mahasiswa strata 3.
Mereka, yang mengelola website tersebut, lebih mengedepankan penjelasan ilmiah dalam membuat pernyataan, bukan penjelasan agama atau penjelasan filsafat. Mereka mencoba membangun citra atheis yang cerdas, berwawasan, dan mencintai logika. Mereka bukannya sama sekali tak percaya tuhan, tetapi bila ada seorang yang setidaknya menunjukkan titik terang tentang keberadaan Tuhan itu mereka akan membuka diri untuk menjadi percaya. Sayangnya, keberadaan tuhan memang sulit dibuktikan secara fisik, bahkan oleh theis sendiri. Maka mereka lebih memercayai tentang sesuatu yang benar-benar ada.
Saya kembali menyadari sesuatu yang baru bahwa keberadaan tuhan bukanlah sebuah kebenaran yang bisa diterima semua orang, dan itu adalah sebatas keyakinan masing-masing individu seperti halnya doktrin-doktrin agama yang saya bahas sebelumnya.
Tak ada yang salah dengan menjadi atheis. Sungguh, kita,orang theis, tak bisa memaksa mereka memercayai tuhan, seperti halnya orang muslim tak bisa kita paksa percaya Yesus adalah tuhan, orang kristen tak bisa kita paksa percaya Gautama menjadi Buddha, atau budhist yang tak bisa kita paksa percaya Muhammad adalah nabi utusan tuhan.
Biarkan keyakinan itu menjadi hak personal masing-masing individu. Karena tidak percaya akan adanya tuhan juga merupakan sebuah keyakinan. Lalu hentikan memersepsi atheis sebagai seorang yang suka berbuat sesuatu yang orang theis anggap sebagai dosa.
Mereka tak mengenal konsep dosa (dan pahala). Mereka hanya tahu baik dan tidak baik. Bahwa menyakiti seorang itu tidak baik, mereka tidak memerlukan agama untuk tahu itu. Mereka memiliki pikiran dan hati, dan mereka benar-benar menggunakannya. Justru sebagian dari kita (theis) yang memegang aturan agama secara jelas sering mematikan pikiran dan hati kita dan melanggar aturan yang kita sanjung dan junjung itu. Lalu masihkah kita berpikir kita lebih bermoral daripada orang atheis?
Saya memang bersimpati kepada atheis, tetapi sampai sekarang saya masih memegang teguh keyakinan awal saya. Jangan tanya mengapa karena menanyakan tentang keyakinan seseorang adalah hal paling tidak sopan bagi saya, dan jangan artikan bahwa saya ingin mengatakan agama katolik adalah yang paling baik.





0 komentar:

Posting Komentar