Sabtu, 26 September 2015

0

Ariel

Seorang gadis muda nan cantik terbaring lemah dalam kondisi koma di ranjang kamar sebuah rumah sakit. Di sampingnya berdiri sosok laki-laki tak kasat mata dalam setelan jas hitam rapi. Laki-laki tersebut memandang penuh kesedihan kepada si gadis.

Sosok lain muncul di samping lelaki tersebut.

“Kau terus meratapi manusia itu. Apa dia berarti untukmu?”

Tanpa mengalihkan pandangannya, lelaki tersebut menjawab. “Sebelumnya dia adalah manusia yang taat pada Tuhan, dia juga lemah lembut dan baik hati.

Semuanya dimulai tepat dua bulan yang lalu saat aku pertama bertemu gadis ini. Dia gadis yang memesona, bahkan untuk iblis sepertiku. Ketertarikanku padanya membuat aku menyalahi aturan neraka. Aku menampakkan diriku padanya.

Kami menjadi dekat dan tertarik satu sama lain tanpa dia tahu siapa aku sebenarnya. Dia bilang dia ingin terus bersamaku selamanya. Tentu aku tak bisa dan itu membuatku sedih.

Aku mengatakan padanya yang sebenarnya. Dia terkejut tapi tak berusaha menjauhiku. Dia bilang dia tetap menyukaiku, karena menurutnya meski aku iblis, aku tak sejahat gambaran iblis seperti yang dia tahu.

Dia menanyakan padaku apakah ada cara agar kami bisa bersama dan direstui Yang Kuasa? Aku pun tak tahu, aku belum pernah mendengar kisah tentang dua makhluk berbeda dunia seperti kami, kau pun begitu kan?

Yang aku tahu aku hanya bisa menemaninya sampai dia mati. Tetapi dia ingin lebih dari itu. Aku tahu jelas dengan apa yang dia perbuat selama hidupnya, dia pasti akan masuk surga. Dan aku? Masuk gereja pun aku akan lenyap.

Lalu dia pun berbuat hal-hal yang bahkan yang tak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya. Dia dengan sengaja berbuat dosa dengan satu tujuan: tinggal di neraka bersamaku.

Aku tak menghendakinya, tetapi aku pun tak kuasa mencegahnya. Lalu dia melakukan satu dosa besar terakhir dengan jaminan neraka tingkat 4: bunuh diri.

Semampuku berusaha mencegahnya dan membuatnya dirawat di rumah sakit ini. Aku tak ingin dia mati sekarang –yang pasti akan langsung membawanya ke neraka-. Aku ingin melihatnya ke surga, meski itu berarti aku tak bisa lagi melihatnya.”

“Gadis itu sudah mati, hanya saja jiwanya belum terangkat, tentu kau tahu itu. Apakah kau benar-benar berharap gadis itu akan hidup lagi?.”

“Yang Kuasa pernah menghidupkan orang mati, tentu gadis ini pun bisa, hanya saja aku tak tahu caranya.”

“Ada satu cara yang aku tahu. Tetapi aku hanya bisa memberitahumu, bukan membantumu, karena jika aku yang melakukannya, aku akan menyalahi hukum langit.”

“Katakanlah padaku, aku sendiri yang akan melakukannya?”

“Bahkan dengan resiko kau akan lenyap selamanya?”

“...”

“Bagaimana?”

“Katakanlah.”

“Kau tahu Roti Kehidupan? Itu akan membuat gadis ini hidup kembali, tetapi seperti yang kau tahu, bahkan kau yang terbuat dari api ini akan terbakar habis bila menyentuh Roti Kehidupan itu.”

“Lebih baik begitu, jika aku lenyap, gadis ini tak akan berniat ke neraka lagi.”

Laki-laki dalam setelan jas hitam tersebut menghilang.

Sosok yang lain tersebut memandang lembut pada gadis yang sedang sekarat tersebut. Lalu meletakkan tangannya di dahi gadis tersebut. “Dengan kuasa-Mu ya Bapa, belum waktunya untuk gadis ini mati, bangkitkan lah ia dari lembah yang gelap itu. Agar ia mampu memantaskan dirinya menghadap Engkau pada waktu yang tepat.”

...

Laki-laki dalam setelan jas hitam tersebut tiba di depan sebuah gereja kecil yang tengah mengadakan perayaan misa ekaristi. Dalam hatinya berucap “wahai Engkau yang duduk di singgasana langit, aku tahu aku bahkan tak layak berdoa seperti ini pada-Mu, tetapi aku mohon untuk sekali ini saja, bangkitkanlah kembali gadis itu dengan kuasa-Mu melalui perantaraan Roti Kehidupan yang kudus itu."

Laki-laki itu mulai memasuki gereja. Panas. Seperti terbakar laki-laki merasakan panas yang hampir belum pernah ia rasakan, bahkan di kerak neraka. Ia sedikit menjerit dan merintih sebelum akhirnya jatuh karena tak tahan dengan panas yang ia rasakan. Tetapi dia tidak mundur. Dengan merangkak dan sesekali mengerang dia berusaha menuju altar untuk mengambil Roti Kehidupan. Usahanya hampir terhenti saat orang-orang di situ mulai memanjat doa dalam nyanyian Bapa Kami. Ini 1000 kali lebih panas dari sebelumnya. Kini dia menangis. Air mata hitam pekatnya mulai menetes. Tubuhnya terlihat lebih tipis dari sebelumnya.

Dia terus melanjutkan usahanya sampai akhirnya berhasil mencapai altar. Dengan sisa kemampuan yang masih ada dia bangkit berdiri. Senyum menyedihkan mengembahkan di wajah pucatnya. Tangannya menjulur mencoba meraih Roti Kehidupan. Tetapi saat tangannya memegang Roti Kehidupan tersebut panas tak terperikan yang tak bisa ditahan oleh makhluk apapun menghinggapi seluruh tubuhnya. Dia memekik dengan suara yang akan menyayat hati siapapun yang bisa mendengarnya. Sebuah cahaya silau turun dari langit atas laki-laki tersebut.

...

“Hei bangun”

Laki-laki dalam setelan jas hitam itu membuka mata mendapati dirinya yang kini terbaring di suatu kamar nan gelap.

“Apa yang tejadi?”

“Kau ingin mendengar hal lucu yang mana? Seorang iblis yang tak sadarkan diri atau seorang manusia yang bangkit dari kematian lalu mencari iblis?”

“Dia hidup? Kau tak bohong kan?”

“Apa makhluk sepertiku diijinkan berbohong? Kau ingin menemui gadis itu?”

“Ah tidak, tolongkan sampaikan pesan bahwa aku telah hilang, aku tak ingin membuatnya berniat masuk neraka lagi.”

“Kenapa harus ke neraka kalau kalian bisa ke surga berdua?”

“Apa maksudmu?”

“Tidakkan kau heran kenapa kau tidak menghilang setelah menyentuh Roti Kehidupan itu? Bapa telah melihat pengorbananmu untuk gadis itu, dan seperti malaikat yang tidak taat akan jatuh menjadi iblis, begitupun iblis yang berbuat kebaikan dengan tulus akan diangkat menjadi malaikat. Dan selamat, kau adalah malaikat baru yang akan masuk dalam legiun ke 21.”

“...”

“Ada apa? Kukira aku akan melihat senyum kebahagiaan, bukan kerutan kesedihan itu?”

“Aku..aku tak bisa menjadi malaikat dan berada di surga. Aku tak bisa meninggalkan neraka. Surga memang indah, tetapi neraka tetaplah rumah. Biarkanlah aku tetap menjadi seperti sebelumnya wahai Mikael malaikat Agung, jika nanti di akhir jaman aku harus terpenggal pedangmu itu, maka biarlah terjadi. Dan tentang gadis itu, dia layak beroleh pasangan lebih dari seorang iblis, maupun seorang malaikat.”

“Hmm, kau iblis muda yang unik. Baiklah jika itu keinginanmu. Oh ya, jika memang nanti aku harus menghabisimu di akhir jaman. Percayalah aku akan memberikan kematian yang indah seperti para martir itu.”

“Aku boleh minta satu hal lagi?”

“Apa semua iblis muda memang banyak minta sepertimu ini? Katakanlah.”

“Jagalah gadis itu, pastikan dia mendapat jaminan surga, kukatakan padamu hal itu tidaklah sulit.”

“Baiklah. Ada lagi sebelum aku pergi?”

“Nyatanya kau berbohong satu hal padaku Mikael: aku tahu bukan Roti Kehidupan yang membuat gadis itu hidup. Karena Roti Kehidupan itu tak pernah sampai kepadanya. Kau yang menghidupkannya kan? Tetapi terima kasih, kau menyuruhku melakukan itu agar Bapa di Surga melihat pengorbananku kan hingga Ia mengangkatku menjadi malaikat?”

Malaikat Mikael tersenyum dan berkata “begitu pikirmu, Ariel?” lalu menghilang.

...




Rabu, 17 Juni 2015

0

Clairvoyant

Aku membunuh diriku sendiri!

Aku membunuh pelaku pembunuhan diriku tersebut.
Seperti yang telah kulakukan sebelumnya.
Aku hanya harus menghentikan pembunuhan diriku tersebut.
Tapi aku tak mau ambil pusing memikirkan sebabnya.

Apa alasanku melakukan bunuh diri konyol seperti itu?
Bagaimana mungkin aku membunuh diriku sendiri?
Aku bingung dengan penglihatan itu.

Ini sangat aneh.
Pembunuhan atas diriku,oleh diriku sendiri!
Kematian diriku, seperti sebelumnya.
Aku mendapat penglihatan lagi.

Huh,tapi aku belum mau mati, tidak untuk saat ini dan tidak dengan cara seperti yang aku lihat.
Sepertinya dewa kematian benar benar menginginkan nyawaku.
Hingga aku melakukan pembunuhan sampai lima kali.
Ditambah dengan terulangnya penglihatan yang hampir sama dengan pelaku yang berbeda.
Tak ada lagi rasa bersalah dan penyesalan, tetapi ketakutan dikejar kematian justru membesar.
Kali ini tanpa ragu aku menghabisinya.
Orang itu adalah tetangga kontrakanku.
Pembunuhan lagi oleh orang yang berbeda.
Aku mendapati lagi penglihatan akan kematianku.

Tapi aku salah.
Meski dihantui rasa bersalah, aku sedikit lebih tenang karena terhindar dari kematian.
Maka terpaksa kubunuh rekan kerjaku.
Aku harus melakukan sesuatu untuk mencegahnya.
Aku tidak bisa melaporkan kepada polisi atas tuduhan rencana pembunuhan berdasarkan penglihatanku itu saja.
Aku tidak ingin mati.
Aku sangat takut.
Aku melihat diriku terbunuh oleh seorang yang kukenal sebagai salah satu rekan kerjaku di kantor.
Hingga aku mendapatkan penglihatan yang sangat menakutkan.

Aku menggunakan kekuatanku ini untuk keuntunganku sendiri atau hanya sekedar untuk berbuat jahil pada teman-temanku.
Aku tak berniat menceritakan pada siapapun.
Tak ada yg tahu tentang kemampuanku selain diriku sendiri.
Meskipun hanya gambaran samar dari kejadian yang acak.
Aku memiliki kemampuan melihat kejadian masa depan.
Aku adalah seorang cenayang.

(Image Source: http://seedsys.com/wp-content/uploads/2015/01/clairvoyant.jpg?9707a5)

*Cerita dibaca terbalik, dari bawah ke atas.

Minggu, 14 Juni 2015

2

Medusa Untold

Medusa adalah bungsu dari tiga bersaudara anak dari dewa laut kuno Phorcys dan adiknya Ceto. Kedua kakaknya adalah makhluk kekal yang disebut Gorgon,
bernama Stheno dan Euriale, sedangkan Medusa terlahir sebagai manusia biasa.

Medusa sebelum dikutuk oleh Athena (sumber: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/98/60/2a/98602a6f1bce584829c31ffade748901.jpg)
Medusa sangat cantik dan lembut hatinya, karenanya ia terpilih menjadi biarawan di salah satu kuil milik Dewi Athena bersama perawan-perawan terpilih lainnya. Tetapi, karena kecantikannya pulalah Ia harus terusir dari kuil tersebut. Kecantikan Medusa, yang disebut-sebut dapat membuat iri para Dewi maupun manusia biasa, telah menarik hati Poseidon, Sang Dewa Lautan. Hingga akhirnya Poseidon menggagahi Medusa secara paksa di kuil Athena.

Alih-alih marah kepada Poseidon, Athena yang murka karena kuilnya telah terkotori melampiaskan kemarahannya kepada Medusa. Ia mengusir Medusa dari kuilnya dan mengutuk Medusa menjadi Gorgon seperti kedua kakaknya. Kecantikannya lenyap seketika. Kulit putih dan halusnya berubah hitam kehijauan dan bersisik. Matanya menyala merah. Tiap helai rambut panjangnya yang halus berubah menjadi seekor ular ganas.

Meski fisiknya berubah total, hati Medusa masih lemah lembut seperti sebelumnya. Ia menangis mohon ampun kepada Athena meskipun bukan dia yang bersalah. Athena tetap mengusir Medusa dan tidak mencabut kutukannya. Tetapi ia juga merasa kasihan pada Medusa, dengan wujud yang mengerikan seperti itu, orang-orang pasti akan berusaha membunuhnya karena meskipun berwujud sama dengan saudara-saudaranya, Medusa tidak dapat hidup kekal seperti mereka, pikir Athena. Athena memberikan kekuatan pada Medusa untuk melindungi dirinya, yaitu orang-orang akan menjadi batu saat menatap langsung mata merahnya.

Medusa pun pasrah dengan keadaannya sekarang. Ia mengasingkan diri dalam sebuah hutan kecil yang jauh dari keramaian manusia. Kedua saudarinya sering mengunjungi Medusa untuk menghiburnya, tetapi malam harinya mereka harus kembali menjaga tempat tinggal mereka.

Setelah sekian tahun lamanya, hutan tersebut menjadi cukup dikenal oleh orang-orang, sebagai hutan keramat. Tak ada yang berani masuk ke dalam hutan tersebut, seiring berkembangnya kisah monster bernama Medusa yang mendiami hutan tersebut. Setiap manusia yang masuk ke dalam hutan tersebut, dapat dipastikan tak akan pernah keluar lagi. Mereka menjadi batu. Ya, mereka bertemu secara langsung dengan Medusa dan malang bagi mereka harus mati membatu sebelum sempat menyelamatkan diri.
Medusa (sumber: http://beastsandcreatures.com/med09L.jpg)


Tentu saja Medusa tak sengaja melakukan itu, ia tak bisa mengontrol kekuatan yang ia anggap kutukan itu. Memang banyak yang ingin membunuhnya saat melihat wujud Medusa dan dengan “kekuatan” itu berulang kali Medusa dapat selamat. Tetapi jika bisa memilih, Medusa sangat ingin mati dibunuh salah satu dari mereka ketimbang harus menanggung dosa atas kematian banyak orang tersebut.

...

Suatu pagi saat terduduk di tepi sungai, Medusa mendengar suara manusia.

“Chiron..Chiron..”

Sepertinya orang itu mencari temannya, pikir Medusa. Sudah hampir 10 bulan Medusa tak pernah bertemu manusia sejak hutan itu dianggap keramat. Ia kini lebih berhati-hati bertemu manusia. Ia bersembunyi di balik sebuah pohon besar agar orang tersebut tidak melihatnya.

“Chiron..”

Suara tersebut terdengar semakin dekat. Lalu tampaklah orang tersebut. Ia seorang pemuda. Dari pakaian yang ia kenakan ia hanya penduduk desa biasa. Ia memegang sebuah tongkat kayu.

Cukup lama bagi Medusa untuk menyadari bahwa pemuda tersebut tunanetra. Ia mengetahuinya dari cara berjalan pemuda tersebut yang terlihat aneh dan menggunakan tongkat.

Medusa keluar dari persembunyiannya dan mencoba menyapa pemuda tersebut. Karena kekuatannya hanya berdampak saat orang melakukan kontak mata dengannya, maka pemuda buta tersebut tentu aman dari kekuatan mata Medusa.

“Kau mencari temanmu?”

Pemuda itu terkejut dan berhenti secara tiba-tiba. Namun ia segera dapat mengendalikan keterkejutannya. “Ah Nona, aku memang mencari temanku, namun ia bukan manusia, ia seekor anjing, Chiron namanya, apa kau melihatnya? Ia besar dan berbulu emas halus.”

“Tidak, aku tidak melihatnya. Kau darimana? Mengapa ke hutan ini?”

“Aku dari desa sebelah hutan ini. Aku ingin mencari kayu bakar untuk perapian rumahku malam ini. Oh iya, namaku Anthony, kau siapa Nona? Sedang apa di sini?”

Medusa terdiam sejenak, ada keraguan dalam hatinya untuk memperkenalkan dirinya yang sebenarnya. “Namaku Medusa, aku tinggal di hutan ini.” Medusa melihat ke arah Anthony penasaran dengan reaksi pemuda itu. Namun agaknya Anthony baru mendengar nama Medusa atau dengan kata lain belum tahu kisah tentang Medusa dari orang-orang.

“Kau seorang diri di sini? Kemana keluargamu?”

“Iya, saudari-saudari tinggal jauh dari tepat ini tapi terkadang mereka sering ke sini menjengukku.”

Tepat di saat Medusa mengakiri kalimatnya, terdengar suara gonggongan anjing dua kali, dan seekor anjing berlari kegirangan ke arah Anthony lalu berputar-putar di dekat kaki Anthony.

“Chiron, itukah kau? Dari mana saja kamu? Dasar anjing nakal.” Anthony berlutut dan memeluk anjing itu.

Medusa cukup heran melihat pemandangan di depannya, seorang pemuda tinggi besar dan sudah dewasa masih bermain akrab dengan anjing peliharaan. Sebagai seekor binatang, anjing itu pun luput dari kekuatan Medusa, karena hanya berdampak pada manusia saja.

“Medusa, ini anjingku Chiron. Tadi dia terpisah denganku saat mengejar kupu-kupu. Sekarang aku sudah menemukannya, aku pamit pergi aku harus melanjutkan mencari kayu bakar sebelum malam tiba. Maaf mengganggu waktumu.”

“Kau tidak menggangguku, sama sekali tidak. Justru aku senang bertemu denganmu. Kalau kau tidak keberatan, mau kah kau kutemani mencari kayu bakar? Sepertinya kau akan sulit mencarinya?” ucap Medusa pelan takut menyinggung Anthony.

“Haha..aku memang tidak bisa melihat tapi bukan berarti aku tidak bisa jalan. Untuk itulah aku akrab dengan Chiron, dia yang selalu menuntunku kemanapun aku ingin pergi. Tapi bila memang kau mau, bolehlah kau menemaniku mencari kayu bakar, kau pasti lebih tahu banyak hutan ini.”

Begitulah, Medusa dan Anthony pun menjadi akrab satu sama lain. Medusa sangat senang, setelah sekian lama akhirnya ia menemukan teman lagi yang dapat ia ajak berbincang selain kedua saudarinya. Begitu pun Anthony, karena mengalami kebutaan sejak kecil, ia menjadi sulit mendapatkan teman.

Setelah selesai mengumpulkan kayu bakar Anthony mencoba mengajak Medusa untuk berkunjung ke rumahnya, tetapi Medusa menolak tentu saja, ia tak mau seluruh warga desa melihatnya. Medusa pun beralasan bahwa ia tak bisa meninggalkan rumahnya.

“Baiklah kalau begitu, tapi bolehkah esok aku ke sini lagi. Aku senang berbincang denganmu, kau teman yang asyik diajak bicara.”

“Tentu saja, aku akan menunggumu di sini. Chiron, besok kau ajak lagi Anthony ke sini ya, jangan sampai dia tersesat lagi.” Chiron menggonggong dan mengibaskan-ibaskan ekornya menanggapi perkataan Medusa.

Anthony tertawa, ia senang Chiron pun bisa akrab dengan Medusa. Lalu ia pamit meninggalkan Medusa.

...

Sesuai janjinya, Anthony kembali mendatangi Medusa esok harinya. Kali ini tidak untuk mencari kayu bakar, tetapi memang ingin bertemu Medusa.

“Kau masih punya keluarga Anthony? Atau hanya hidup berdua dengan Chiron? Aku belum pernah mendengar kau bercerita tentang keluargamu?”

“Satu-satunya keluarga yang kukenal cuma nenekku, tapi dia pun kini sudah tiada. Ayah ibuku meninggal saat aku masih kecil, dibunuh kawanan perampok menyisakan aku seorang yang kemudian diambil dan dirawat oleh nenek sampai remaja. Nenek meninggal karena penyakitnya. Saat masih belum terserang penyakit, nenek membawakanku Chiron yang masih bayi, ia menemukan di pinggir jalan. Sejak saat itu aku selalu bermain dengan Chiron, dia menjadi mataku, menjadi cahaya dalam kegelapanku. Aku tak tahu bagaimana nanti jika ia pergi meninggalkanku, apakah aku masih bisa melanjutkan hidupku, seperti kemarin saat kehilangan dia, aku sangat takut. Kadang ketakutanku membuatku berpikir untuk bunuh diri saja, namun aku juga tak tega untuk meninggalkan Chiron sendirian.”

Medusa sangat sedih mendengar cerita Anthony, pada titik ini dia merasa senasib dengan Anthony, di mana para dewa berlaku tidak adil terhadap mereka berdua.

Medusa dan Anthony makin akrab sejak saat itu dan hampir setiap hari Anthony ke hutan tersebut baik untuk mencari kayu bakar atau hanya sekedar berbincang dengan Medusa. Bahkan setelah musim dingin telah lewat, Anthony makin sering ke hutan itu bersama Chiron.

Tak perlu panah Dewa Eros untuk menyatukan hati Medusa dan Anthony, karena sejak awal pertemuan pun mereka sudah memendam rasa satu sama lain. Maka tanpa keraguan, Anthony meminta Medusa untuk hidup bersama dengannya sebagai kekasih. Namun sayangnya, Medusa tak bisa menyanggupinya, walaupun dalam hatinya sangat ingin menerima permintaan Anthony. Ia sadar betul siapa dirinya sekarang, tak layak ia bersanding dengan pemuda itu. Awalnya, Anthony mengira Medusa tidak mau menerimanya karena ia buta, tapi meski baru mengenal Medusa beberapa minggu, ia tahu betul Medusa bukan wanita yang demikian, ia pasti punya alasan lain, Anthony meyakinkan dirinya sendiri, tetapi ia juga tidak berani menanyakan alasan lain itu pada Medusa. Medusa tahu isi pikiran Anthony, hatinya menjadi semakin gelisah.

Kegelisahan hati Medusa itu ia sampaikan kepada kedua saudarinya, Stheno dan Euriale. Medusa tahu ia tak mungkin bersama dengan Anthony selamanya, tetapi ia juga ingin menolong Anthony yang malang. Stheno yang kasihan melihat adiknya, memberanikan diri menghadap Athena untuk meminta pengampunan atas Medusa, tetapi ia ditolak mentah-mentah. Ketiga Gorgon bersaudara itu tak tahu lagi harus berbuat apa.

...

“Anthony, kau masih mencintaiku?” tanya Medusa dalam pertemuannya dengan Anthony pada suatu hari.

“Sejak aku nyatakan cintaku padamu, perasaanku tak pernah berubah, meski kau belum bisa menerimaku.”

“Bukan aku tak mau menerimamu, aku pun mencintaimu, tetapi kita tak bisa bersama, ada hal yang belum bisa kusampaikan padamu, yang menghalangi cinta kita.”

“Aku akan menunggu sampai kau mengatakannya, dan sampai kita menemukan cara untuk bisa mengatasinya.”

“Katakan padaku, apa kau ingin bisa melihat?”

“Itu keinginanku dari kecil, dan kini keinginanku itu membesar, karena aku ingin melihat wajahmu, wajah orang yang kukasihi.”

“Berjanjilah Anthony, kelak bila kau bisa melihat, kau akan terus melanjutkan hidupmu, meski tanpa diriku.”

“Apa maksudmu? Aku lebih memilih untuk hidup denganmu dalam gelap ketimbang bisa melihat seluruh dunia, tanpa kau di dalamnya.”

“Kau tak mengerti Anthony, kita tak ditakdirkan bersama, para dewa di gunung Olimpus itu tak akan mengijinkan itu. Kita berbeda, kau manusia dan aku..aku monster.” Medusa menangis. “Inilah yang ingin kukatakan padamu, yang membuatku tak bisa menerimamu..bahwa aku bukan manusia biasa sepertimu. Aku monster terkutuk. Orang yang melihatku akan berubah menjadi batu, kau beruntung karena tak bisa melihat sehingga kau masih bisa hidup.”

Anthony terdiam lalu tiba-tiba tersenyum. “Mungkin ini kali pertama aku harus bersyukur menjadi orang buta. Aku sudah tahu itu.”

Medusa heran.

“Aku tahu tentangmu sejak pertemuan kita yang kedua. Saat kembali ke rumah aku menceritakan pertemuanku denganmu pada seorang tetangga. Dan ia menceritakan kisahmu, sebagai seorang monster yang jahat.”

“Lalu mengapa kau masih datang ke hutan ini? Kau tak takut padaku?”

“Chiron..aku lebih percaya Chiron daripada siapa pun. Chiron akan menyalak pada sesuatu yang jahat, yang berbahaya bagi diriku. Tapi kepadamu, ia justru senang di dekatmu. Medusa aku sudah menerima bagaimanapun dirimu sejak saat itu sebagai temanku, sahabatku, dan kini sebagai orang yang kucintai. Kuharap perbedaan ini tidak kau takutkan lagi.”

“Bukan hanya itu saja Anthony, kutukan Athena, ia akan selalu mengikuti, aku takut kau pun akan terkena kutukan itu bila terus bersamaku.” Medusa bangkit berdiri dan lari meninggalkan Anthony, tetapi sebelum langkahnya kian jauh, ia berteriak “esok pagi kau akan bisa melihat, jangan temui aku lagi di sini, lanjutkan hidupmu, carilah wanita yang layak untukmu, ini pertemuan kita yang terakhir.”

Medusa pergi menemui Euriale, ia tahu kakak keduanya itu memiliki kekuatan untuk menyembuhkan Anthony. Tekadnya sudah bulat, bahwa ia ingin membuat Anthony sembuh meski konsekuensinya ia tak boleh lagi bertemu Anthony. Euriale sedikit berdebat dengan keputusan adiknya tersebut tetapi ia tetap mengikutinya.

...

Esok paginya saat bangun dari tidur, Anthony sudah bisa melihat. Ia tak terlalu terkejut karena mengira ini mimpi, mimpi yang sama setiap paginya, bahwa ia bisa melihat. Tapi tidak, ini lain, ini terlihat nyata. Anthony menampar pipinya keras, ia kini yakin bahwa ini bukan mimpi. Ia benar-benar bisa melihat!

Anthony amat senang. Senyum mengembang di wajahnya dengan cepat. Tapi dengan cepat pula senyum itu menyusut saat ia teringat perkataan Medusa kemarin yang menjadi kenyataan pagi ini.
Medusa! Ya Anthony merasa ia harus menemuinya. Ini pasti berkat Medusa ucapnya dalam hati. Ia berlari cukup kencang ke arah hutan membuat Chiron terkejut dan cukup sulit menyusulnya.
Anthony akhirnya harus meminta Chiron untuk menunjukkan jalan yang tentu saja asing baginya. Ia takut Medusa sudah menghilang dari hutan itu. Ia tak ingin kehilangan kekasih monsternya itu. Mereka pun sampai ke dalam hutan. Terburu-buru, Anthony ke arah sungai tempat ia biasa berbincang dengan Medusa.

Harapannya terkabul. Medusa belum meninggalkan hutan itu. Ia melihat sosok yang ia yakini sebgai Medusa. Wanita berambut ular. Persis seperti yang diceritakan tetangganya waktu itu.

Medusa tak melihat Anthony karena ia membelakanginya. Anthony berlari dan memanggil Medusa, membuat wanita itu terkejut dan segera membalikkan badannya yang membuat ia makin terkejut. Medusa tak percaya Anthony begitu nekat melanggar larangannya kemarin. Ia memejamkan matanya agar tak melakukan kontak mata dengan Anthony.

“Bodoh, kenapa kau tetap datang kemari?”

“Aku sudah bisa melihat Medusa. Aku yakin ini semua pasti berkatmu bukan? Aku ingin mengucapkan terimakasih.”

“Kau tak perlu melakukan itu, kau hanya akan membahayakan dirimu, kau sendiri tahu kau bisa berubah jadi batu jika menatap mataku.”

“Ah maaf, aku tak memedulikan hal itu, aku hanya ingin melihatmu, orang pertama yang ingin kulihat saat aku sudah tak buta lagi.”

“Dan sekarang kau sudah bisa melihatku, lalu apa? Kau takut? Aku bukan wanita cantik seperti yang semua laki-laki impikan, kulitku bersisik dan rambutku ular hidup. Aku monster!”

“Jangan katakan itu Medusa, kau mencintaiku meski aku dulu buta, dan aku pun mencintaimu meski kau menggaggap dirimu monster.”

Medusa menangis dan tetap terpejam, ia sungguh takut Anthony berubah jadi batu.

“Medusa aku mencintaimu.”

“Aku juga mencintaimu Anthony, tapi bisakah kau pergi sejenak, aku akan mencari cara agar aku tak perlu bertatap mata denganmu.”

Anthony meringis seidikit kesakitan “Ah sepertinya aku tak bisa memenuhi permintaanmu Medusa. Kakiku..kakiku terasa kaku, aku tak bisa bergerak.”

Medusa terkejut dan membuka matanya menatap ke arah kaki Anthony. Demi Zeus, Raja para dewa! Kaki Anthony telah membatu, terlambat bagi mereka berdua, sihir mata Medusa telah mengenai Anthony.

“Anthony! Tidak, maafkan aku, aku tak bermaksud..a,aku tak tahu mengapa masih bisa begini.”

Bagian tubuh Anthony yang membatu semakin ke atas. “Tidak Medusa, tidak apa-apa, ini semua salahku. Aku yang gegabah menemuimu. Tetapi aku tidak menyesal karena akhirnya aku bisa melihat wajahmu. Kau cantik Medusa. Mungkin kau memang monster dari luar, tetapi di dalam kau masih berhati manusia. Tetaplah seperti itu aku mencintaimu. A..” Anthony tak sempat menyelesaikan ucapannya karena mulutnya pun telah membatu dan tak lama Anthony menjadi batu seutuhnya.

“Tidak Anthony, jangaann. Jangan tinggalkan aku, kau harus hidup Anthony. Anthonyyyy” Medusa mengerang kencang, terdengar mengerikan. Ia mengutuki semua dewa, termasuk Athena dan Poseidon. Ia murka. Kemurkaannya membuatnya berubah jahat. Tak ada lagi kelemah lembutan dalam hatinya. Ia sama sekali berbeda dengan Medusa sebelumnya, ia telah menjadi monster seutuhnya. Chiron menyalak galak melihat perubahan drastis pada Medusa, sebelum perutnya dirobek oleh cakar tajam Medusa. Medusa lalu pergi ke desa, melampiaskan kekesalannya pada seluruh penduduk desa dengan menjadikan mereka batu kemudian menghancurkan batu-batu tersebut.


Dan begitulah bagaimana monster bernama Medusa tercipta. Ia menggenapi takdirnya sendiri seperti yang dikehendaki dewa untuk menjadi monster jahat. Sebelum akhirnya dibunuh oleh Perseus. Saat kepalanya dipenggal dan dibawa oleh Perseus Medusa masih dapat berbicara. Ia berterima kasih kepada Perseus karena telah membunuhnya dan membebaskan jiwanya dari kutukan Athena.

Perseus memenggal kepala Medusa (sumber: http://www.greekmythology.com/images/mythology/perseus_130.jpg)


*Cerita diambil berdasarkan karakter Medusa dalam mitologi Yunani, 
*Judul mencuri ide dari judul film "Dracula Untold"
*Anthony dan Chiron adalah tokoh yang ditambahkan penulis untuk keperluan alur cerita

Minggu, 17 Mei 2015

0

Waham

Andre terbangun dari tidurnya. Kepalanya masih terasa pusing. Sudah 2 hari dia hanya terbaring di ranjangnya karena kecelakaan lalu lintas yang dia alami. Dokter mengatakan Andre menderita amnesia retrograde karena benturan yang dialami oleh kepalanya saat terjatuh di jalan. Sebagian ingatan jangka pendeknya hilang, seperti saat dia tidak bisa mengingat memori di hari saat dia mengalami kecelakaan termasuk detail kecelakaan tersebut, kapan; dimana; dan bagaimana kejadian itu bisa terjadi.

Rumah Andre sangat sepi. Hanya ada dia, mamanya, dan neneknya yang tinggal di situ. Papanya tinggal di kota yang berbeda, di tempat ia bekerja, tetapi setiap akhir minggu dia selalu pulang. Meski  cenderung nakal Andre sangat menyayangi mama dan neneknya, begitupun mereka sayang pada Andre. Seperti saat sekarang saat Andre memerlukan perawatan pasca kecelakaan, mama dan nenek bergantian merawatnya.

Seperti biasa, sebelum Andre terbangun mamanya selalu menyediakan sarapan dan meninggalkannya di meja dekat tempat tidur Andre lalu pergi bekerja karena tempat kerjanya mengharuskan ia berangkat pagi-pagi sekali.

Andre mencoba meraih bubur yang kelihatan masih hangat di meja. “Kau sudah bangun Ndre?” tanya nenek Andre yang tiba-tiba masuk ke kamar.
“Iya nek, aku lapar.”
“Kau mau aku suapi?”
“Tidak usah nek, aku bisa sendiri.” Tolak Andre halus, dengan senyuman. Neneknya sangat memanjakannya tetapi terkadang ia memerlakukan Andre seperti anak kecil.  Sepertinya nenek lupa bahwa aku telah tumbuh dewasa, begitu pikir Andre.

Nenek  Andre menemani Andre menghabiskan sarapan sambil bercerita. Ia mengatakan bahwa papa Andre akan pulang hari ini, ia cuti untuk melihat keadaan Andre katanya.

“Oh iya kemarin Papa juga sudah ngasih tahu di telepon nek. Mm..Mama sudah berangkat ya nek?”
“Mama? Mamamu ya maksudmu? Berangkat apa?” Nenek Andre seperti kelihatan bingung dengan pertanyaan Andre tersebut.
“Berangkat kerja dong nek berangkat apalagi emang?”
“Oh eh iya, sudah, dia sudah berangkat kerja.”
Andre heran dengan reaksi neneknya tersebut, dia seperti linglung saat ditanya tentang mamanya, apakah ia sudah mulai pikun dan lupa tentang mamanya?
“Nenek tinggal dulu ya, kalau sudah selesai sarapannya taruh saja mangkuknya di meja lagi nanti nenek ambil.”

Andre meraih remote tv, bosan juga harus terus berbaring seperti ini di ranjang pikirnya. Perlahan Ia mulai tertidur lagi.

...

“Ndre bangun ndre ini Papa.”
Andre membuka matanya. “Pa? Cepat sekali sampainya? Aku kira nanti malam Papa datangnya.”
“Papa berangkat tadi malam Ndre. Kamu gimana? Udah baikan?”
“Udah pa. Tapi masih belum boleh banyak bergerak kata Dokter.”
“Sudah makan?”
“Sudah pa, tadi dimasakin bubur sama Mama, tadi juga makannya ditemenin nenek.”
Air muka papa Andre sedikit berubah.
“besok papa antar periksa ya, Papa di sini cuma sampai lusa.”
“Iya pa, nenek di mana? Mama belum pulang?”
Sedikit berpikir, papa Andre menjawab “Nenekmu sedang tidur. Mamamu mungkin pulang terlambat, tadi juga di jalan Papa kejebak macet.”
“Maaf Pa, bisa ambilin ponsel Andre? Andre mau nelpon temen.”
“Temen apa temen?” goda papa Andre sambil mengambilkan ponsel anaknya. “Ya udah papa keluar dulu ya, kalau butuh apa-apa panggil aja ya.”
“Iya pa, makasih.”

...

Di ruang tamu papa Andre menyalakan televisi tetapi tatapannya kosong, pikirannya tidak tertuju pada siaran televisi, ia memikirkan hal lain. Papa Andre lalu mengambil foto keluarga di meja dekatnya. Dalam foto itu terlihat papa dan mama Andre, nenek Andre, serta Andre sendiri yang masih berusia 7 tahun.

“Kurasa kondisi Andre semakin buruk, bukan fisiknya, tetapi mentalnya. Ia jadi suka membicarakan mamanya yang sudah meninggal” ucap nenek Andre yang datang tiba-tiba dan duduk di sebelah papa Andre.

Papa Andre bergeming. Lalu dahinya berkerut cemas sambil terus memandang foto yang ia pegang.
Tanpa disadari, Andre berdiri di belakang papa dan neneknya. Ia hendak mencoba berjalan keluar kamar tetapi langkahnya terhenti saat mendengar ucapan neneknya. Ia terkejut dan tak tahu harus berbuat apa. Tetapi perlahan ia kembali melangkahkan kakinya ke kamarnya dan mencoba agar tak ketahuan papa dan neneknya. Di kamar ia terus memikirkan ucapan neneknya yang ia dengar tadi. Air matanya menetes.

...

Mama Andre pulang dari kerjanya, ia membuka pintu dan mendapati suaminya terduduk sendiri di ruang tamu.
“Pa? Datang kapan? Udah ketemu Andre?”

Papa Andre menoleh ke arah mama Andre. “Sudah ma. Kamu benar, Andre benar-benar berpikiran bahwa neneknya masih hidup. Besok aku akan memeriksakannya ke Dokter.”
0

The Strangers

*Perspektif Bayu

Aku bukan orang yang percaya adanya setan,iblis alien atau makhluk lain, yang kurasa hanya dalam dongeng belaka, dulunya. Tetapi kini sulit bagiku untuk mengatakan aku tidak memercayainya lagi.
Pagi ini, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, saat sedang di depan cermin ibuku berubah menjadi makhluk asing yang sangat menakutkan. Wajahnya memerah, matanya menjadi hitam seluruhnya, dan deretan giginya semua menjadi taring tajam. Ia menyeringai di depan cermin tersebut menyaksikan sosoknya sendiri perlahan berubah, tanpa ia sadari aku turut melihatnya.

Aku sama sekali tak tahu siapa dia, mengapa dia menyamar jadi ibuku, dan kemana ibuku yang asli. Aku sangat ketakutan. Aku mengunci diri di dalam kamar. Aku tak mau siapapun dia, yang kini menyamar menjadi ibuku itu, masuk ke sini, aku akan menunggu sampai nanti ayah pulang.
Aku terbangun dari tidur saat bel rumahku berbunyi. Ah itu dia ayah sudah pulang. Huh, aku tadi sangat ketakutan dan banyak pikiran hingga aku tertidur.

Aku segera keluar kamar untuk meyambutnya, berharap dapat menceritakan apa yang kulihat hari ini padanya. Tapi sebelum sampai ke pintu depan, langkahku berhenti. Aku melihat ayahku disambut pelukan ibuku. Itu tak aneh, yang aneh adalah kejadian setelah itu. Ya perlahan wajah ayah pun berubah, hampir sama dengan sosok yang menyamar menjadi ibuku, tetapi ia memliki dua tanduk kecil merah di atas kepalanya. Kemudian ayah dan ibu palsuku itu berbicara dalam bahasa yang tak aku mengerti diikuti dengan tawa yang terdengar jahat bagiku.

Oh tidak, kini apa yang harus aku lakukan? Aku kini tinggal bersama dua sosok menyeramkan yang menyamar menjadi orang tuaku. Aku berlari masuk ke kamar lagi. Aku harus meninggalkan rumah ini segera,harus.

Malam tiba. Ibu palsuku itu memanggilku untuk makan malam, sangat mirip dengan kebiasaan ibuku, jika saja aku tidak melihat kejadian siang tadi aku tak kan menyadari bahwa ia bukan ibuku.
Aku bergeming, terlalu takut untuk menghampiri mereka. Ayah palsuku masuk ke kamarku dalam wujud yang mirip dengan ayahku dan memintaku untuk bergabung dengan mereka menyantap makan malam. Aku terpaksa mengikutinya.

Aku sangat lapar, tetapi entah kenapa semua makanan di meja makan ini terlihat tidak enak. Aku hanya makan sedikit dan tak banyak bicara pada orang tua palsuku kecuali menanggapi pertanyaan mereka dengan enggan.

Aku memikirkan sebuah rencana. Rencana untuk kabur dari rumah ini. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tak tahu apa yang akan mereka perbuat padaku nantinya dan aku harus mencari orang tua asliku. Tapi bagaimana? Orang-orang tentu tak akan memercayaiku.

Sonya, ya Sonya. Sahabatku itu pasti memercayaiku dan akan membantuku. Malam ini aku akan menyelinap keluar dari kamarku dan kabur ke rumah Sonya meminta bantuannya.

...

Sulit bagiku untuk membuat Sonya menerima ceritaku. Aku sendiripun tak akan percaya bila aku yang di posisinya sekarang. Tapi toh ia tetap saja memberi tempat bagiku di rumahnya ini. Itulah mengapa aku bersahabat dengannya. Tidak hanya itu, dia juga akan membantuku mencari kebenaran di balik peristiwa yang aku alami ini. Awalnya aku menolak, aku takut terjadi sesuatu padanya, firasatku mengatakan orang atau apapun itu yang menyamar menjadi orang tuaku adalah sosok yang berbahaya.
...

Hari masih pagi saat aku dan Sonya keluar rumah, dengan sedikit penyamaran tentu saja untuk melakukan pengintaian, dan di kompleks rumahku ramai terdengar berita tentang menghilangnya diriku. Orang tua palsuku tersebut cukup lihai untuk berpura-pura menjadi orang tua yang baik sehingga berita tentang hilangnya diriku inipun tak mereka tutupi, mereka bertindak selayaknya orang tua normal saat kehilangan anaknya.

Aku dan Sonya berbagi tugas. Aku membuntuti ayah palsuku dan Sonya membuntuti ibu palsuku. Seharian aku membuntuti ayah palsuku, seperti seorang agen rahasia profesional. Aku mengikutinya keluar rumah hingga ke tempat kerja dan pulang lagi ke rumah. Tidak ada yang aneh yang kulihat  padanya hari ini, dia melakukan aktifitas normal seperti yang dilakukan ayahku dan cukup pandai berpura-pura cemas akan kehilangan diriku kepada orang lain. Tetapi saat berada dalam mobilnya aku sempat melihat sekali lagi wujudnya berubah menjadi sosok yang kemarin kulihat. Entah hanya aku yang lihat atau bagaimana, tetapi orang lain di sekitar situ tidak ada yang menyadari hal itu. Aku pun pulang kembali ke rumah Sonya berharap mendapat sesuatu petunjuk darinya.

Aku menunggu Sonya kepulangan Sonya di rumahnya. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu saat datang. Tetapi saat kutanya tentang apa yang ia dapatkan, ia hanya menggelengkan kepala. Meski begitu aku yakin dia menyembunyikan sesuatu dariku.

...

Seperti kemarin, hari ini kami masih pada rencana kami untuk mencari petunjuk dengan membuntuti orang tua palsuku itu. Tetapi tanpa sepengetahuan Sonya aku berbuat menyimpang dari rencana. Aku tak lagi membuntuti ayah palsuku. Aku membuntuti Sonya! Aku begitu curiga terhadapnya, kurasa ia telah menemukan sesuatu namun tak mau mengatakan padaku. Maka aku akan mencari tahu sendiri apa yang ia sembunyikan itu.

Aku membuntutinya sampai ke rumahku. Ia berhenti di depan pagar rumahku dan terlihat melihat sekeliling. Untuk ukuran mengintai, kurasa dia terlalu “terlihat” bila disitu. Aku dibuatnya terkejut beberapa detik kemudian setelah dia melangkah ke pintu depan rumahku dan mengetuknya. Hei, itu bukan bagian dari rencana, teriakku dalam hati, meski aku pun tak melakukan rencana kami.

Dan lihat itu, pintu dibuka, ibu palsuku dengan senyum liciknya menyambut Sonya. Sonya masuk ke dalam rumah. Sial, aku tak bisa melihatnya dari sini, aku mencari tempat lain untuk mengintai mereka.

Aku menajamkan indera penglihatan dan pendengaranku setelah aku mendapatkan titik yang strategis untuk melihat ke dalam rumah. Kembali aku dibuat terkejut, ibu palsuku berubah wujud di depan Sonya sedangkan Sonya tampak biasa saja melihatnya. Tetapi aku langsung mendapatkan alasannya setelah melihat Sonya juga berubah wujuh serupa dengan ibu palsuku itu. Ternyata Sonya juga bagian dari mereka! Aku sangat shock melihatnya, juga kecewa. Kini aku benar-benar sendiri, tidak lagi orang yang bisa kupercaya, aku harus berjuang sendiri untuk bebas dari mereka. Kembali aku mencoba untuk menangkap pembicaraan mereka, tetapi percuma, mereka berbicara menggunakan bahasa yang tak ku mengerti lagi. Hanya sesekali mereka menyebut namaku dengan mimik serius. Aku tahu itu, dan aku yakin, bahwa mereka akan segera melaksanakan niat jahatnya kepadaku. Sial, aku harus segera bertindak, aku harus menghentikan mereka dan mengakhiri semua ini, tak peduli apakah aku akan bertemu dengan orang tua dan sahabatku yang asli lagi atau tidak, aku tak mau pertaruhkan nyawaku lebih lama lagi.

...

*Perspektif Sonya

Semalam Bayu datang ke rumahku. Ia bilang bahwa ia kabur dari rumahnya dengan alasan yang sangat tidak bisa kupercaya: dua makhluk asing menakutkan telah menyamar menjadi orang tuanya. Jika saja aku tidak melihat dia ketakutan seperti itu, aku mungkin hanya mengganggapnya sedang mengerjaiku. Tetapi aku tahu betul dia, dia pembohong yang payah. Aku tahu setiap kebohongan yang ia katakan. Dan malam itu, aku sangat yakin ia berkata jujur. Maka untuk sementara aku memercayainya dan berjanji membantunya dalam kasus ini.

Sesuai janjiku tadi malam, hari ini aku membantu Bayu untuk membuntuti ibu palsunya, sedangkan dia membuntuti ayah palsunya. Saat aku melihat ibunya tersebut aku masih sulit percaya pada cerita Bayu. Tante Sofi -aku masih memanggilnya demikian- masih tampak sama seperti dulu. Tak ada perbedaan yang aku lihat. Meski begitu aku tetap harus membuntutinya. Tak mudah bagiku untuk memat-matainya saat satu kompleks tempat tinggal Bayu ramai oleh berita hilangnya Bayu. Dan aku terlibat dalam peristiwa tersebut.

Pukul 9 kulihat Tante Sofi pergi keluar rumah, air mukanya begitu sangat sedih. Aku membuntutinya. Ia menuju ke kantor polisi. Membuat laporan orang hilang kurasa? Lalu kenapa dia harus susah payah mencari Bayu bila ia bukan ibu aslinya? Bukankah jika memang ia berniat jahat tentu akan senang mengetahui Bayu tak lagi di rumahnya?

Tadinya aku cukup yakin dengan kemampuan mengintaiku, sampai saat Tante Sofi menyapaku yang sedang melamun. Sial aku ketahuan! Aku mati langkah,  tak tahu harus berbuat apa. Dia menanyakan perihal kepergian Bayu kepadaku yang tentu saja kujawab tidak tahu. Ia lalu memintaku menemaninya ke rumah sakit, ada sesuatu yang ingin ia tunjukkan padaku katanya dan ku sanggupi.
Aku masih tak mengerti maksudnya hingga saat kami bertemu dengan seorang dokter. Tante Sofi memerkenalkannya sebagai dokter Hasan, dokter yang menangani Bayu saat kecelakaan 2 minggu yang lalu. Aku ingat kecelakaan itu, bukan merupakan kecelakaan yang membuat luka luar yang parah tetapi meninggalkan trauma pada diri Bayu.

Tante Sofi berbincang dengan dokter Hasan mengenai suatu sindrom yang menyerang mental Bayu sejak kecelakaan itu. Aku kurang ingat nama sindromnya, tapi dari perbincangan mereka aku dapat mengetahui bahwa sindrom itu membuat penderitanya beranggapan orang lain adalah makhluk lain yang sedang menyamar, didukung dengan delusi yang ia dapatkan tentang orang tersebut (1). Dokter Hasan telah memerkirakan Bayu terserang sindrom tersebut saat ia menolak ditangani dokter Hasan dan mengatakan bahwa dokter Hasan adalah alien yang menyamar menjadi manusia. Namun agaknya Bayu sendiri telah melupakan kejadian tersebut karena saat itu ia masih setengah sadar. Tante Sofi takut bahwa peristiwa hilangnya Bayu ini berkaitan dengan sindrom tersebut.

Pada titik ini aku mulai bisa menangkap apa yang sebenarnya terjadi. Dan aku tak bisa membiarkan hal ini berjalan dengan salah. Aku harus membicarakan yang sebenarnya pada Bayu.

Tapi aku tak sanggup. Sesampainya di rumah ia sudah menungguku dan berharap aku menemukan petunjuk apapun. Aku memang mendapatkannya, bukan hanya petunjuk, tetapi kenyataan yang sebenarnya, namun aku seperti tidak berani mengatakannya. Kupikir aku harusnya berbicara pada tante Sofi dahulu saja besok.

...

Aku benar-benar harus membicarakan dengan tante Sofi tentang hal ini. Aku berpura-pura masih mengikuti rencanaku dengan Bayu untuk membuntuti orang tuanya hari ini. Tetapi aku datang secara terang-terangan ke rumahnya. Aku disambut hangat oleh tante Sofi dengan senyum yang agak dipaksakan, aku tahu dia masih sedih kehilangan Bayu. Aku kumpulkan keberanianku untuk berbicara yang sebenarnya padanya. Dia lega saat mengetahui Bayu ada bersamaku selama ini tetapi di saat yang sama dia juga sedih atas apa yang terjadi dengan Bayu. Aku mengajaknya untuk bertemu dengan Bayu dan menjelaskan padanya apa yang terjadi. Tetapi ia menolak, ia takut hal itu justru akan menimbulkan kebingungan pada Bayu dan memerparah keadaannya. Katanya untuk sementara ia akan membiarkan hal ini sambil berkonsultasi dengan dokter Hasan. Aku pun terpaksa menyetujuinya dan segera meminta diri untuk kembali.

Aku kembali ke rumah saat sore agar Bayu tidak curiga yang telah kulakukan. Seperti kemarin, dia sudah menungguku. Entah kenapa aku sangat ingin mengatakan padanya tetapi aku tidak bisa, ditambah dengan larangan dari tante Sofi. Perlahan aku melewatinya, setelah dua langkah yang cukup berat aku berhasil meyakinkan diriku untuk berbicara kepadanya. Sekarang aku harus memberitahunya. Ya sekarang!

...

*Perspektif Bayu

Aku kembali menunggu Sonya palsu di rumahnya. Dia masih berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Dan sekarang makin jelas terlihat olehku, rahasia yang ia sembunyikan di balik bola matanya yang bulat itu. Dia melangkah masuk ke rumah dan melewatiku perlahan. Satu langkah..dua langkah..dan dia roboh tepat di hadapanku setelah kutembak belakang kepalanya. Darah berwarna putih mengalir dari lubang di kepalanya. Kuharap ini dapat membalaskan dendam Sonya yang telah ia gantikan keberadaannya.

Aku melangkah keluar mempersiapkan diriku untuk rencana selanjutnya: menghabisi kedua orang tua palsuku.

THE END

(1) Sindrom yang dimaksud adalah Capgras Syndrom. Ditemukan oleh psikiater Perancis, Jean Marie Joseph Capgras. Adalah suatu kelainan di mana seseorang mengalami delusi keyakinan bahwa seorang teman, pasangan, orang tua atau anggota keluarga dekat yang lain, telah digantikan oleh orang lain (penipu).
0

Sore Hari Raya (by Kahlil Gibran)

(Judul asli: Eventide of the Feast, dialihbahasakan oleh Landung Simatupang)

Malam sudah turun dan keremangan mengepung kota sementara lampu-lampu berpijar di istana-istana, gubuk-gubuk dan toko-toko.
Banyak orang dengan dandanan meriah memadati jalanan, dan wajah mereka menyiratkan perayaan, kegembiraan dan kepuasan.
Kuhindari bising kerumunan dan aku berjalan sendirian, merenungkan Sang Manusia yang kebesarannya sedang dikenang dan diagungkan orang-orang itu, dan kurenungkan Sang Jenius sepanjang sejarah yang lahir papa, hidup penuh kesalehan, dan mati di Salib.

Kurenungi obor berkobar yang disulut di dusun desa di Siria ini oleh Roh Suci. … Roh Suci yang melayani sepanjang segala abad, dan menembus meresapi peradaban demi peradaban dengan kebenaranNya.
Setiba di taman umum, aku duduk di bangku kasar dan mulai memandang dari celah dua pohon gundul ke arah jalan-jalan penuh orang; kudengarkan nyanyian keagamaan dan lagu-lagu yang disuarakan para peserta perayaan.

Setelah satu jam merenung-renung aku menengok ke samping dan kaget melihat ada yang duduk di sebelahku, memegang ranting pendek yang dia gunakan untuk mencoretkan bentuk-bentuk tak jelas di tanah. Aku terkesiap karena tidak melihat atau mendengar ia mendekat, tapi kukatakan dalam hati, “Ia penyendiri, seperti aku.” Dan setelah menatapnya lekat-lekat dan penuh, kulihat bahwa walaupun pakaiannya kuno dan rambutnya gondrong, orang ini kelihatan santun dan baik-baik, patut diperhatikan. Dia seperti membaca apa yang kupikirkan, sebab dengan suara dalam dan teduh dia berkata, “Selamat malam, Nak.”
“Selamat malam, Bapak,” jawabku hormat. Dan dia teruskan lagi menggambar sementara bunyi suaranya yang aneh meneduhkan itu masih bergaung di telingaku. Dan kusapa dia lagi, “Bapak asing di kota ini?”
“Ya, saya orang asing di kota ini dan di segala kota,” sahutnya. Kuhibur dia, kataku, “Orang asing mesti melupakan keasingannya di masa liburan hari raya begini, karena warga kota sedang ramah, baik hati lagi pemurah.” Ia menjawab, letih dan bosan, “Saya lebih merasa terasing di hari-hari begini ketimbang hari lain.”

Setelah berkata begitu, ia memandang langit jernih; matanya menerawang bintang-bintang dan bibirnya menggeletar seolah ia temukan di langit luas itu gambaran suatu negeri nun jauh. Pernyataannya yang ganjil tadi bikin aku penasaran, dan kataku, “Waktu begini, setiap tahun, orang berbuat baik kepada semua orang lain. Yang kaya ingat pada yang miskin, yang kuat berwelas-asih kepada yang lemah.”
Ia menjawab, “Ya, belas kasihan sejenak dari yang kaya kepada yang miskin itu menyakitkan, dan simpati pihak yang kuat kepada yang lemah hanya mengingatkan tentang superioritas.”
Aku mengiyakan, “Apa yang Bapak katakan ada benarnya, tapi orang miskin yang lemah tak peduli itu, tak ingin tahu apa yang ada di lubuk hati orang kaya; dan mereka yang kelaparan tidak pernah memikirkan bagaimana roti yang mereka dambakan diuli dan dipanggang.”
Dan dia menjawab, “Pihak yang menerima tidak menyadari; tapi pihak yang memberi bertanggung jawab memperingatkan diri sendiri bahwa pemberian itu dijiwai oleh cinta pada sesama, belarasa terhadap sahabat, bukan demi meninggi-ninggikan diri sendiri.”

Aku terpukau oleh kearifannya, dan mulai merenungi lagi tampilannya yang kuno serta pakaiannya yang aneh. Kemudian pikiranku pulang dari mengembara sejenak, dan kukatakan, “Tampaknya Bapak perlu sesuatu; Bapak mau uang sekadarnya dari saya?”
Dengan senyum sedih ia menyahut, “Ya, saya memang sangat membutuhkan, tapi bukan keping uang emas atau perak.”
Kebingungan, aku bertanya, “Bapak perlu apa?”
“Tempat berteduh. Tempat buat meletakkan kepala dan mengistirahkan pikiran saya.”
“Terimalah dua dinar ini; Bapak bisa pergi ke penginapan dan membayar sewa kamar,” aku mendesak.
Penuh duka dia menjawab, “Sudah saya datangi penginapan di mana-mana dan saya ketuk setiap pintu, tapi sia-sia. Sudah saya masuki semua toko dan warung penjual makanan, tapi tidak ada yang peduli menolong saya. Saya terluka di hati, bukannya lapar; saya kecewa, bukan letih. Saya tidak mencari naungan atap, melainkan naungan manusia.”

Aku membatin, “Aneh benar orang ini! Kadang bicara seperti filsuf, kadang seperti orang gila!” Selagi aku membisikkan pikiran itu ke telinga batinku, dia menatapku tajam-tajam, merendahkan suaranya ke nada yang muram, katanya, “Ya, saya orang gila, tapi bahkan si gila pun akan merasa jadi orang asing tanpa tempat berteduh dan kelaparan tanpa makanan, karena hampanya hati manusia.”
Aku minta maaf kepadanya, “Saya sesalkan pikiran saya yang ngawur ini. Maukah Bapak menerima uluran tangan saya dan menginap di pondokan saya?”
“Saya telah mengetuk pintumu dan semua pintu seribu kali dan tidak mendapat jawaban,” sahutnya sengit.
Sekarang yakin betul aku, dia memang gila; dan kuajak dia, “Ayolah, ke rumah saya.”
Perlahan dia mengangkat kepala, lalu berkata, “Andai kamu tahu jatidiriku, tidak akan kamu mengundangku ke rumahmu.”
“Bapak ini siapa?” tanyaku gentar, sendat.
Dengan suara yang terdengar bagai gemuruh samudra, dia meraung geram, “Aku ini revolusi yang membangun apa yang dihancurkan bangsa-bangsa.” Dan Dia meneruskan, dengan pedih dan getir, “Orang-orang itu menyelenggarakan perayaan untuk menghormati Aku, mengikuti tradisi yang terbentuk berabad-abad lamanya di seputar namaKu, sedangkan Aku sendiri ini orang asing yang mengembara dari timur ke barat di atas bumi, tanpa seorang pun tahu-menahu tentang Aku. Serigala punya liang, dan burung-burung di langit punya sarang, tapi tiada tempat bagi Putra Manusia meletakkan kepalaNya.”

Saat itu kubuka mata, kuangkat kepala, dan kupandang sekeliling, tapi tidak kutemukan apapun selain pilar asap di depanku, dan hanya kudengar geletar suara sepi malam, keluar dari lubuk keabadian. Kukendalikan diri dan kulayangkan lagi pandangku ke arah kerumunan orang yang bernyanyi-nyanyi di jauhan, dan kudengar suara dalam diriku berkata, “Kekuatan yang melindungi hati dari luka dan cedera justru menghalangi hati tumbuh berkembang mencapai keagungan yang dihasratkan jiwa. Suara nyanyian dari mulut itu memang merdu, namun nyanyian hatilah suara murni surgawi.”



When the Almighty one fell to the pond, He will be a fish
- Unknown Philosopher-