Minggu, 17 Mei 2015

0

Waham

Andre terbangun dari tidurnya. Kepalanya masih terasa pusing. Sudah 2 hari dia hanya terbaring di ranjangnya karena kecelakaan lalu lintas yang dia alami. Dokter mengatakan Andre menderita amnesia retrograde karena benturan yang dialami oleh kepalanya saat terjatuh di jalan. Sebagian ingatan jangka pendeknya hilang, seperti saat dia tidak bisa mengingat memori di hari saat dia mengalami kecelakaan termasuk detail kecelakaan tersebut, kapan; dimana; dan bagaimana kejadian itu bisa terjadi.

Rumah Andre sangat sepi. Hanya ada dia, mamanya, dan neneknya yang tinggal di situ. Papanya tinggal di kota yang berbeda, di tempat ia bekerja, tetapi setiap akhir minggu dia selalu pulang. Meski  cenderung nakal Andre sangat menyayangi mama dan neneknya, begitupun mereka sayang pada Andre. Seperti saat sekarang saat Andre memerlukan perawatan pasca kecelakaan, mama dan nenek bergantian merawatnya.

Seperti biasa, sebelum Andre terbangun mamanya selalu menyediakan sarapan dan meninggalkannya di meja dekat tempat tidur Andre lalu pergi bekerja karena tempat kerjanya mengharuskan ia berangkat pagi-pagi sekali.

Andre mencoba meraih bubur yang kelihatan masih hangat di meja. “Kau sudah bangun Ndre?” tanya nenek Andre yang tiba-tiba masuk ke kamar.
“Iya nek, aku lapar.”
“Kau mau aku suapi?”
“Tidak usah nek, aku bisa sendiri.” Tolak Andre halus, dengan senyuman. Neneknya sangat memanjakannya tetapi terkadang ia memerlakukan Andre seperti anak kecil.  Sepertinya nenek lupa bahwa aku telah tumbuh dewasa, begitu pikir Andre.

Nenek  Andre menemani Andre menghabiskan sarapan sambil bercerita. Ia mengatakan bahwa papa Andre akan pulang hari ini, ia cuti untuk melihat keadaan Andre katanya.

“Oh iya kemarin Papa juga sudah ngasih tahu di telepon nek. Mm..Mama sudah berangkat ya nek?”
“Mama? Mamamu ya maksudmu? Berangkat apa?” Nenek Andre seperti kelihatan bingung dengan pertanyaan Andre tersebut.
“Berangkat kerja dong nek berangkat apalagi emang?”
“Oh eh iya, sudah, dia sudah berangkat kerja.”
Andre heran dengan reaksi neneknya tersebut, dia seperti linglung saat ditanya tentang mamanya, apakah ia sudah mulai pikun dan lupa tentang mamanya?
“Nenek tinggal dulu ya, kalau sudah selesai sarapannya taruh saja mangkuknya di meja lagi nanti nenek ambil.”

Andre meraih remote tv, bosan juga harus terus berbaring seperti ini di ranjang pikirnya. Perlahan Ia mulai tertidur lagi.

...

“Ndre bangun ndre ini Papa.”
Andre membuka matanya. “Pa? Cepat sekali sampainya? Aku kira nanti malam Papa datangnya.”
“Papa berangkat tadi malam Ndre. Kamu gimana? Udah baikan?”
“Udah pa. Tapi masih belum boleh banyak bergerak kata Dokter.”
“Sudah makan?”
“Sudah pa, tadi dimasakin bubur sama Mama, tadi juga makannya ditemenin nenek.”
Air muka papa Andre sedikit berubah.
“besok papa antar periksa ya, Papa di sini cuma sampai lusa.”
“Iya pa, nenek di mana? Mama belum pulang?”
Sedikit berpikir, papa Andre menjawab “Nenekmu sedang tidur. Mamamu mungkin pulang terlambat, tadi juga di jalan Papa kejebak macet.”
“Maaf Pa, bisa ambilin ponsel Andre? Andre mau nelpon temen.”
“Temen apa temen?” goda papa Andre sambil mengambilkan ponsel anaknya. “Ya udah papa keluar dulu ya, kalau butuh apa-apa panggil aja ya.”
“Iya pa, makasih.”

...

Di ruang tamu papa Andre menyalakan televisi tetapi tatapannya kosong, pikirannya tidak tertuju pada siaran televisi, ia memikirkan hal lain. Papa Andre lalu mengambil foto keluarga di meja dekatnya. Dalam foto itu terlihat papa dan mama Andre, nenek Andre, serta Andre sendiri yang masih berusia 7 tahun.

“Kurasa kondisi Andre semakin buruk, bukan fisiknya, tetapi mentalnya. Ia jadi suka membicarakan mamanya yang sudah meninggal” ucap nenek Andre yang datang tiba-tiba dan duduk di sebelah papa Andre.

Papa Andre bergeming. Lalu dahinya berkerut cemas sambil terus memandang foto yang ia pegang.
Tanpa disadari, Andre berdiri di belakang papa dan neneknya. Ia hendak mencoba berjalan keluar kamar tetapi langkahnya terhenti saat mendengar ucapan neneknya. Ia terkejut dan tak tahu harus berbuat apa. Tetapi perlahan ia kembali melangkahkan kakinya ke kamarnya dan mencoba agar tak ketahuan papa dan neneknya. Di kamar ia terus memikirkan ucapan neneknya yang ia dengar tadi. Air matanya menetes.

...

Mama Andre pulang dari kerjanya, ia membuka pintu dan mendapati suaminya terduduk sendiri di ruang tamu.
“Pa? Datang kapan? Udah ketemu Andre?”

Papa Andre menoleh ke arah mama Andre. “Sudah ma. Kamu benar, Andre benar-benar berpikiran bahwa neneknya masih hidup. Besok aku akan memeriksakannya ke Dokter.”
0

The Strangers

*Perspektif Bayu

Aku bukan orang yang percaya adanya setan,iblis alien atau makhluk lain, yang kurasa hanya dalam dongeng belaka, dulunya. Tetapi kini sulit bagiku untuk mengatakan aku tidak memercayainya lagi.
Pagi ini, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, saat sedang di depan cermin ibuku berubah menjadi makhluk asing yang sangat menakutkan. Wajahnya memerah, matanya menjadi hitam seluruhnya, dan deretan giginya semua menjadi taring tajam. Ia menyeringai di depan cermin tersebut menyaksikan sosoknya sendiri perlahan berubah, tanpa ia sadari aku turut melihatnya.

Aku sama sekali tak tahu siapa dia, mengapa dia menyamar jadi ibuku, dan kemana ibuku yang asli. Aku sangat ketakutan. Aku mengunci diri di dalam kamar. Aku tak mau siapapun dia, yang kini menyamar menjadi ibuku itu, masuk ke sini, aku akan menunggu sampai nanti ayah pulang.
Aku terbangun dari tidur saat bel rumahku berbunyi. Ah itu dia ayah sudah pulang. Huh, aku tadi sangat ketakutan dan banyak pikiran hingga aku tertidur.

Aku segera keluar kamar untuk meyambutnya, berharap dapat menceritakan apa yang kulihat hari ini padanya. Tapi sebelum sampai ke pintu depan, langkahku berhenti. Aku melihat ayahku disambut pelukan ibuku. Itu tak aneh, yang aneh adalah kejadian setelah itu. Ya perlahan wajah ayah pun berubah, hampir sama dengan sosok yang menyamar menjadi ibuku, tetapi ia memliki dua tanduk kecil merah di atas kepalanya. Kemudian ayah dan ibu palsuku itu berbicara dalam bahasa yang tak aku mengerti diikuti dengan tawa yang terdengar jahat bagiku.

Oh tidak, kini apa yang harus aku lakukan? Aku kini tinggal bersama dua sosok menyeramkan yang menyamar menjadi orang tuaku. Aku berlari masuk ke kamar lagi. Aku harus meninggalkan rumah ini segera,harus.

Malam tiba. Ibu palsuku itu memanggilku untuk makan malam, sangat mirip dengan kebiasaan ibuku, jika saja aku tidak melihat kejadian siang tadi aku tak kan menyadari bahwa ia bukan ibuku.
Aku bergeming, terlalu takut untuk menghampiri mereka. Ayah palsuku masuk ke kamarku dalam wujud yang mirip dengan ayahku dan memintaku untuk bergabung dengan mereka menyantap makan malam. Aku terpaksa mengikutinya.

Aku sangat lapar, tetapi entah kenapa semua makanan di meja makan ini terlihat tidak enak. Aku hanya makan sedikit dan tak banyak bicara pada orang tua palsuku kecuali menanggapi pertanyaan mereka dengan enggan.

Aku memikirkan sebuah rencana. Rencana untuk kabur dari rumah ini. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tak tahu apa yang akan mereka perbuat padaku nantinya dan aku harus mencari orang tua asliku. Tapi bagaimana? Orang-orang tentu tak akan memercayaiku.

Sonya, ya Sonya. Sahabatku itu pasti memercayaiku dan akan membantuku. Malam ini aku akan menyelinap keluar dari kamarku dan kabur ke rumah Sonya meminta bantuannya.

...

Sulit bagiku untuk membuat Sonya menerima ceritaku. Aku sendiripun tak akan percaya bila aku yang di posisinya sekarang. Tapi toh ia tetap saja memberi tempat bagiku di rumahnya ini. Itulah mengapa aku bersahabat dengannya. Tidak hanya itu, dia juga akan membantuku mencari kebenaran di balik peristiwa yang aku alami ini. Awalnya aku menolak, aku takut terjadi sesuatu padanya, firasatku mengatakan orang atau apapun itu yang menyamar menjadi orang tuaku adalah sosok yang berbahaya.
...

Hari masih pagi saat aku dan Sonya keluar rumah, dengan sedikit penyamaran tentu saja untuk melakukan pengintaian, dan di kompleks rumahku ramai terdengar berita tentang menghilangnya diriku. Orang tua palsuku tersebut cukup lihai untuk berpura-pura menjadi orang tua yang baik sehingga berita tentang hilangnya diriku inipun tak mereka tutupi, mereka bertindak selayaknya orang tua normal saat kehilangan anaknya.

Aku dan Sonya berbagi tugas. Aku membuntuti ayah palsuku dan Sonya membuntuti ibu palsuku. Seharian aku membuntuti ayah palsuku, seperti seorang agen rahasia profesional. Aku mengikutinya keluar rumah hingga ke tempat kerja dan pulang lagi ke rumah. Tidak ada yang aneh yang kulihat  padanya hari ini, dia melakukan aktifitas normal seperti yang dilakukan ayahku dan cukup pandai berpura-pura cemas akan kehilangan diriku kepada orang lain. Tetapi saat berada dalam mobilnya aku sempat melihat sekali lagi wujudnya berubah menjadi sosok yang kemarin kulihat. Entah hanya aku yang lihat atau bagaimana, tetapi orang lain di sekitar situ tidak ada yang menyadari hal itu. Aku pun pulang kembali ke rumah Sonya berharap mendapat sesuatu petunjuk darinya.

Aku menunggu Sonya kepulangan Sonya di rumahnya. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu saat datang. Tetapi saat kutanya tentang apa yang ia dapatkan, ia hanya menggelengkan kepala. Meski begitu aku yakin dia menyembunyikan sesuatu dariku.

...

Seperti kemarin, hari ini kami masih pada rencana kami untuk mencari petunjuk dengan membuntuti orang tua palsuku itu. Tetapi tanpa sepengetahuan Sonya aku berbuat menyimpang dari rencana. Aku tak lagi membuntuti ayah palsuku. Aku membuntuti Sonya! Aku begitu curiga terhadapnya, kurasa ia telah menemukan sesuatu namun tak mau mengatakan padaku. Maka aku akan mencari tahu sendiri apa yang ia sembunyikan itu.

Aku membuntutinya sampai ke rumahku. Ia berhenti di depan pagar rumahku dan terlihat melihat sekeliling. Untuk ukuran mengintai, kurasa dia terlalu “terlihat” bila disitu. Aku dibuatnya terkejut beberapa detik kemudian setelah dia melangkah ke pintu depan rumahku dan mengetuknya. Hei, itu bukan bagian dari rencana, teriakku dalam hati, meski aku pun tak melakukan rencana kami.

Dan lihat itu, pintu dibuka, ibu palsuku dengan senyum liciknya menyambut Sonya. Sonya masuk ke dalam rumah. Sial, aku tak bisa melihatnya dari sini, aku mencari tempat lain untuk mengintai mereka.

Aku menajamkan indera penglihatan dan pendengaranku setelah aku mendapatkan titik yang strategis untuk melihat ke dalam rumah. Kembali aku dibuat terkejut, ibu palsuku berubah wujud di depan Sonya sedangkan Sonya tampak biasa saja melihatnya. Tetapi aku langsung mendapatkan alasannya setelah melihat Sonya juga berubah wujuh serupa dengan ibu palsuku itu. Ternyata Sonya juga bagian dari mereka! Aku sangat shock melihatnya, juga kecewa. Kini aku benar-benar sendiri, tidak lagi orang yang bisa kupercaya, aku harus berjuang sendiri untuk bebas dari mereka. Kembali aku mencoba untuk menangkap pembicaraan mereka, tetapi percuma, mereka berbicara menggunakan bahasa yang tak ku mengerti lagi. Hanya sesekali mereka menyebut namaku dengan mimik serius. Aku tahu itu, dan aku yakin, bahwa mereka akan segera melaksanakan niat jahatnya kepadaku. Sial, aku harus segera bertindak, aku harus menghentikan mereka dan mengakhiri semua ini, tak peduli apakah aku akan bertemu dengan orang tua dan sahabatku yang asli lagi atau tidak, aku tak mau pertaruhkan nyawaku lebih lama lagi.

...

*Perspektif Sonya

Semalam Bayu datang ke rumahku. Ia bilang bahwa ia kabur dari rumahnya dengan alasan yang sangat tidak bisa kupercaya: dua makhluk asing menakutkan telah menyamar menjadi orang tuanya. Jika saja aku tidak melihat dia ketakutan seperti itu, aku mungkin hanya mengganggapnya sedang mengerjaiku. Tetapi aku tahu betul dia, dia pembohong yang payah. Aku tahu setiap kebohongan yang ia katakan. Dan malam itu, aku sangat yakin ia berkata jujur. Maka untuk sementara aku memercayainya dan berjanji membantunya dalam kasus ini.

Sesuai janjiku tadi malam, hari ini aku membantu Bayu untuk membuntuti ibu palsunya, sedangkan dia membuntuti ayah palsunya. Saat aku melihat ibunya tersebut aku masih sulit percaya pada cerita Bayu. Tante Sofi -aku masih memanggilnya demikian- masih tampak sama seperti dulu. Tak ada perbedaan yang aku lihat. Meski begitu aku tetap harus membuntutinya. Tak mudah bagiku untuk memat-matainya saat satu kompleks tempat tinggal Bayu ramai oleh berita hilangnya Bayu. Dan aku terlibat dalam peristiwa tersebut.

Pukul 9 kulihat Tante Sofi pergi keluar rumah, air mukanya begitu sangat sedih. Aku membuntutinya. Ia menuju ke kantor polisi. Membuat laporan orang hilang kurasa? Lalu kenapa dia harus susah payah mencari Bayu bila ia bukan ibu aslinya? Bukankah jika memang ia berniat jahat tentu akan senang mengetahui Bayu tak lagi di rumahnya?

Tadinya aku cukup yakin dengan kemampuan mengintaiku, sampai saat Tante Sofi menyapaku yang sedang melamun. Sial aku ketahuan! Aku mati langkah,  tak tahu harus berbuat apa. Dia menanyakan perihal kepergian Bayu kepadaku yang tentu saja kujawab tidak tahu. Ia lalu memintaku menemaninya ke rumah sakit, ada sesuatu yang ingin ia tunjukkan padaku katanya dan ku sanggupi.
Aku masih tak mengerti maksudnya hingga saat kami bertemu dengan seorang dokter. Tante Sofi memerkenalkannya sebagai dokter Hasan, dokter yang menangani Bayu saat kecelakaan 2 minggu yang lalu. Aku ingat kecelakaan itu, bukan merupakan kecelakaan yang membuat luka luar yang parah tetapi meninggalkan trauma pada diri Bayu.

Tante Sofi berbincang dengan dokter Hasan mengenai suatu sindrom yang menyerang mental Bayu sejak kecelakaan itu. Aku kurang ingat nama sindromnya, tapi dari perbincangan mereka aku dapat mengetahui bahwa sindrom itu membuat penderitanya beranggapan orang lain adalah makhluk lain yang sedang menyamar, didukung dengan delusi yang ia dapatkan tentang orang tersebut (1). Dokter Hasan telah memerkirakan Bayu terserang sindrom tersebut saat ia menolak ditangani dokter Hasan dan mengatakan bahwa dokter Hasan adalah alien yang menyamar menjadi manusia. Namun agaknya Bayu sendiri telah melupakan kejadian tersebut karena saat itu ia masih setengah sadar. Tante Sofi takut bahwa peristiwa hilangnya Bayu ini berkaitan dengan sindrom tersebut.

Pada titik ini aku mulai bisa menangkap apa yang sebenarnya terjadi. Dan aku tak bisa membiarkan hal ini berjalan dengan salah. Aku harus membicarakan yang sebenarnya pada Bayu.

Tapi aku tak sanggup. Sesampainya di rumah ia sudah menungguku dan berharap aku menemukan petunjuk apapun. Aku memang mendapatkannya, bukan hanya petunjuk, tetapi kenyataan yang sebenarnya, namun aku seperti tidak berani mengatakannya. Kupikir aku harusnya berbicara pada tante Sofi dahulu saja besok.

...

Aku benar-benar harus membicarakan dengan tante Sofi tentang hal ini. Aku berpura-pura masih mengikuti rencanaku dengan Bayu untuk membuntuti orang tuanya hari ini. Tetapi aku datang secara terang-terangan ke rumahnya. Aku disambut hangat oleh tante Sofi dengan senyum yang agak dipaksakan, aku tahu dia masih sedih kehilangan Bayu. Aku kumpulkan keberanianku untuk berbicara yang sebenarnya padanya. Dia lega saat mengetahui Bayu ada bersamaku selama ini tetapi di saat yang sama dia juga sedih atas apa yang terjadi dengan Bayu. Aku mengajaknya untuk bertemu dengan Bayu dan menjelaskan padanya apa yang terjadi. Tetapi ia menolak, ia takut hal itu justru akan menimbulkan kebingungan pada Bayu dan memerparah keadaannya. Katanya untuk sementara ia akan membiarkan hal ini sambil berkonsultasi dengan dokter Hasan. Aku pun terpaksa menyetujuinya dan segera meminta diri untuk kembali.

Aku kembali ke rumah saat sore agar Bayu tidak curiga yang telah kulakukan. Seperti kemarin, dia sudah menungguku. Entah kenapa aku sangat ingin mengatakan padanya tetapi aku tidak bisa, ditambah dengan larangan dari tante Sofi. Perlahan aku melewatinya, setelah dua langkah yang cukup berat aku berhasil meyakinkan diriku untuk berbicara kepadanya. Sekarang aku harus memberitahunya. Ya sekarang!

...

*Perspektif Bayu

Aku kembali menunggu Sonya palsu di rumahnya. Dia masih berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Dan sekarang makin jelas terlihat olehku, rahasia yang ia sembunyikan di balik bola matanya yang bulat itu. Dia melangkah masuk ke rumah dan melewatiku perlahan. Satu langkah..dua langkah..dan dia roboh tepat di hadapanku setelah kutembak belakang kepalanya. Darah berwarna putih mengalir dari lubang di kepalanya. Kuharap ini dapat membalaskan dendam Sonya yang telah ia gantikan keberadaannya.

Aku melangkah keluar mempersiapkan diriku untuk rencana selanjutnya: menghabisi kedua orang tua palsuku.

THE END

(1) Sindrom yang dimaksud adalah Capgras Syndrom. Ditemukan oleh psikiater Perancis, Jean Marie Joseph Capgras. Adalah suatu kelainan di mana seseorang mengalami delusi keyakinan bahwa seorang teman, pasangan, orang tua atau anggota keluarga dekat yang lain, telah digantikan oleh orang lain (penipu).
0

Sore Hari Raya (by Kahlil Gibran)

(Judul asli: Eventide of the Feast, dialihbahasakan oleh Landung Simatupang)

Malam sudah turun dan keremangan mengepung kota sementara lampu-lampu berpijar di istana-istana, gubuk-gubuk dan toko-toko.
Banyak orang dengan dandanan meriah memadati jalanan, dan wajah mereka menyiratkan perayaan, kegembiraan dan kepuasan.
Kuhindari bising kerumunan dan aku berjalan sendirian, merenungkan Sang Manusia yang kebesarannya sedang dikenang dan diagungkan orang-orang itu, dan kurenungkan Sang Jenius sepanjang sejarah yang lahir papa, hidup penuh kesalehan, dan mati di Salib.

Kurenungi obor berkobar yang disulut di dusun desa di Siria ini oleh Roh Suci. … Roh Suci yang melayani sepanjang segala abad, dan menembus meresapi peradaban demi peradaban dengan kebenaranNya.
Setiba di taman umum, aku duduk di bangku kasar dan mulai memandang dari celah dua pohon gundul ke arah jalan-jalan penuh orang; kudengarkan nyanyian keagamaan dan lagu-lagu yang disuarakan para peserta perayaan.

Setelah satu jam merenung-renung aku menengok ke samping dan kaget melihat ada yang duduk di sebelahku, memegang ranting pendek yang dia gunakan untuk mencoretkan bentuk-bentuk tak jelas di tanah. Aku terkesiap karena tidak melihat atau mendengar ia mendekat, tapi kukatakan dalam hati, “Ia penyendiri, seperti aku.” Dan setelah menatapnya lekat-lekat dan penuh, kulihat bahwa walaupun pakaiannya kuno dan rambutnya gondrong, orang ini kelihatan santun dan baik-baik, patut diperhatikan. Dia seperti membaca apa yang kupikirkan, sebab dengan suara dalam dan teduh dia berkata, “Selamat malam, Nak.”
“Selamat malam, Bapak,” jawabku hormat. Dan dia teruskan lagi menggambar sementara bunyi suaranya yang aneh meneduhkan itu masih bergaung di telingaku. Dan kusapa dia lagi, “Bapak asing di kota ini?”
“Ya, saya orang asing di kota ini dan di segala kota,” sahutnya. Kuhibur dia, kataku, “Orang asing mesti melupakan keasingannya di masa liburan hari raya begini, karena warga kota sedang ramah, baik hati lagi pemurah.” Ia menjawab, letih dan bosan, “Saya lebih merasa terasing di hari-hari begini ketimbang hari lain.”

Setelah berkata begitu, ia memandang langit jernih; matanya menerawang bintang-bintang dan bibirnya menggeletar seolah ia temukan di langit luas itu gambaran suatu negeri nun jauh. Pernyataannya yang ganjil tadi bikin aku penasaran, dan kataku, “Waktu begini, setiap tahun, orang berbuat baik kepada semua orang lain. Yang kaya ingat pada yang miskin, yang kuat berwelas-asih kepada yang lemah.”
Ia menjawab, “Ya, belas kasihan sejenak dari yang kaya kepada yang miskin itu menyakitkan, dan simpati pihak yang kuat kepada yang lemah hanya mengingatkan tentang superioritas.”
Aku mengiyakan, “Apa yang Bapak katakan ada benarnya, tapi orang miskin yang lemah tak peduli itu, tak ingin tahu apa yang ada di lubuk hati orang kaya; dan mereka yang kelaparan tidak pernah memikirkan bagaimana roti yang mereka dambakan diuli dan dipanggang.”
Dan dia menjawab, “Pihak yang menerima tidak menyadari; tapi pihak yang memberi bertanggung jawab memperingatkan diri sendiri bahwa pemberian itu dijiwai oleh cinta pada sesama, belarasa terhadap sahabat, bukan demi meninggi-ninggikan diri sendiri.”

Aku terpukau oleh kearifannya, dan mulai merenungi lagi tampilannya yang kuno serta pakaiannya yang aneh. Kemudian pikiranku pulang dari mengembara sejenak, dan kukatakan, “Tampaknya Bapak perlu sesuatu; Bapak mau uang sekadarnya dari saya?”
Dengan senyum sedih ia menyahut, “Ya, saya memang sangat membutuhkan, tapi bukan keping uang emas atau perak.”
Kebingungan, aku bertanya, “Bapak perlu apa?”
“Tempat berteduh. Tempat buat meletakkan kepala dan mengistirahkan pikiran saya.”
“Terimalah dua dinar ini; Bapak bisa pergi ke penginapan dan membayar sewa kamar,” aku mendesak.
Penuh duka dia menjawab, “Sudah saya datangi penginapan di mana-mana dan saya ketuk setiap pintu, tapi sia-sia. Sudah saya masuki semua toko dan warung penjual makanan, tapi tidak ada yang peduli menolong saya. Saya terluka di hati, bukannya lapar; saya kecewa, bukan letih. Saya tidak mencari naungan atap, melainkan naungan manusia.”

Aku membatin, “Aneh benar orang ini! Kadang bicara seperti filsuf, kadang seperti orang gila!” Selagi aku membisikkan pikiran itu ke telinga batinku, dia menatapku tajam-tajam, merendahkan suaranya ke nada yang muram, katanya, “Ya, saya orang gila, tapi bahkan si gila pun akan merasa jadi orang asing tanpa tempat berteduh dan kelaparan tanpa makanan, karena hampanya hati manusia.”
Aku minta maaf kepadanya, “Saya sesalkan pikiran saya yang ngawur ini. Maukah Bapak menerima uluran tangan saya dan menginap di pondokan saya?”
“Saya telah mengetuk pintumu dan semua pintu seribu kali dan tidak mendapat jawaban,” sahutnya sengit.
Sekarang yakin betul aku, dia memang gila; dan kuajak dia, “Ayolah, ke rumah saya.”
Perlahan dia mengangkat kepala, lalu berkata, “Andai kamu tahu jatidiriku, tidak akan kamu mengundangku ke rumahmu.”
“Bapak ini siapa?” tanyaku gentar, sendat.
Dengan suara yang terdengar bagai gemuruh samudra, dia meraung geram, “Aku ini revolusi yang membangun apa yang dihancurkan bangsa-bangsa.” Dan Dia meneruskan, dengan pedih dan getir, “Orang-orang itu menyelenggarakan perayaan untuk menghormati Aku, mengikuti tradisi yang terbentuk berabad-abad lamanya di seputar namaKu, sedangkan Aku sendiri ini orang asing yang mengembara dari timur ke barat di atas bumi, tanpa seorang pun tahu-menahu tentang Aku. Serigala punya liang, dan burung-burung di langit punya sarang, tapi tiada tempat bagi Putra Manusia meletakkan kepalaNya.”

Saat itu kubuka mata, kuangkat kepala, dan kupandang sekeliling, tapi tidak kutemukan apapun selain pilar asap di depanku, dan hanya kudengar geletar suara sepi malam, keluar dari lubuk keabadian. Kukendalikan diri dan kulayangkan lagi pandangku ke arah kerumunan orang yang bernyanyi-nyanyi di jauhan, dan kudengar suara dalam diriku berkata, “Kekuatan yang melindungi hati dari luka dan cedera justru menghalangi hati tumbuh berkembang mencapai keagungan yang dihasratkan jiwa. Suara nyanyian dari mulut itu memang merdu, namun nyanyian hatilah suara murni surgawi.”



When the Almighty one fell to the pond, He will be a fish
- Unknown Philosopher-