|
Dewi Sinta (image source: http://cdn.shopify.com/s/files/1/0152/9417/products/maskedart_wayang_dewi_shinta_jepara_09_1024x1024.jpg?v=1339342838) | |
Rahwana tertegun melihat Sinta yang terlelap di kamar yang telah Rahwana
sediakan untuk Sinta. Kakak Dursasana tersebut terpukau oleh kecantikan Sinta
yang telah lama Ia dengar dari omongan orang tetapi baru kali ini ia lihat
langsung dengan mata bulat besarnya.
Dengan bantuan Kala Marica, anak buahnya, Rahwana
berhasil membawa kabur Dewi Sinta ke Istananya dengan sedikit tipu musihat
seperti yang biasa ia lakukan. Tetapi saat tiba di Alengka, Sinta jatuh pingsan
karena ketakutan melihat sosok para raksasa di kerajaan tersebut, hingga Ia
hanya dibaringkan di sebuah kamar yang lebih layak untuk tamu kehormatan
Kerajaan dibandingkan untuk seorang tawanan.
Sinta siuman saat hari menginjak senja.
“Makanlah, kau sudah dua hari tak menyantap apapun”, ucap Rahwana sambil
menyodorkan ke pada Sinta makanan yang telah dihidangkan pelayannya.
Sinta hanya diam dan menatap tajam pada Rahwana.
Rahwana merasakan emosi kebencian pada diri Sinta, tetapi Ia juga prihatin atas
kondisi Sinta yang terus melemah karena Ia sama sekali tak berkenan menerima
makanan apapun di Alengka sejak Ia diculik Rahwana dari tangan Rama.
“Aku tak ingin menyakitimu, dan percayalah aku
tak akan lama memisahkanmu dari Rama. Aku tahu kalian saling mencintai dan aku
selalu menghargai perasaan seperti itu. Aku melarikanmu ke sini hanya untuk
memberi pelajaran kepada Rama. Ini murni perkaraku dengan dia dan tak ada
hubungannya denganmu, maafkan aku telah lancang melibatkanmu dalam perang ini.”
Sinta bertahan dalam diamnya namun kali ini bukan
lagi karena rasa bencinya melainkan ia terkejut atas sikap Rahwana yang lembut
ini. Ini juga kali pertama Sinta bertemu langsung dengan Rahwana, sebelumnya ia
hanya mendengarkan kisah Rahwana dari ucapan Rama dan orang-orang terdekat Rama
di negara Ayodya. Buruk rupa, angkara murka dan licik, itulah gambaran sosok
Rahwana yang didapat Sinta dari cerita orang-orang itu. Ia memang jauh dari
kesan tampan karena memang Ia adalah seorang Buto (raksasa buruk rupa), ia juga menggunakan cara licik untuk
menculik Sinta. Tapi Sinta sama sekali tak mendapati sifat beringas yang sering
ia bayangkan dari Rahwana.
Namun Sinta tak mau terlena oleh
sikap Rahwana tersebut, Ia berpikir Rahwana hanya berpura-pura baik untuk
mengambil hati Sinta.
“Baiklah akan kutinggalkan makanan ini bersamamu,
kuharap kau bersedia memakannya nanti.” Rahwana melangkah pergi keluar kamar
itu.
Setelah bayangan Rahwana menghilang dari
pandangannya, Sinta kembali tenggelam dalam air mata. Ia sangat sedih berpisah
dari Rama dan ia sangat merindukan kekasihnya itu.
...
Begitulah seterusnya selama seminggu
berturut-turut Sinta masih enggan berbicara dan tak mau makan hingga hari
ke-tujuh dalam masa penculikan atas dirinya oleh Rahwana, Sinta jatuh sakit.
Rahwana panik mengetahui kondisi Sinta yang sekarat. Hampir semua tabib yang
ada di Kerajaannya ia panggil untuk menyembuhkan Sinta, beberapa menyerah
karena ternyata Sinta bukan hanya sakit kurang makan namun kondisi kritisnya
juga disebabkan suatu penyakit langka yang sudah lama diderita Sinta yang kini
kambuh karena kondisi tubuh Sinta yang sangat lemah. Tabib lain yang cukup
handal mengatakan bahwa penasea dari penyakit tersebut adalah ramuan yang
menggunakan bahan dari sebuah bunga ajaib yang hanya tumbuh di dasar laut
terdalam.
Tanpa pikir panjang lagi, Rahwana segera mencari
bunga tersebut meskipun hal itu cukup sulit baginya sekalipun ia adalah seorang
Raja raksasa.
Sebenarnya reaksi spontan dirinya atas kejadian
yang menimpa Sinta ini juga membuat Rahwana sendiri bingung, mengingat Sinta
adalah kekasih dari musuh besarnya, tak ada keuntungan baginya untuk
menyembuhkan Sinta, justru seharusnya dengan matinya Sintalah ia dapat membalas
Rama. Tetapi kini ia tak mau memikirkan itu. Ia terus berlari menuju lautan
untuk menyelamatkan wanita cantik yang kini tengah menjadi tawanannya itu.
Cantik? Ya, bahkan Rahwana sendiri tak menampik bahwa hatinya tergetar saat
pertama menatap wajah Sinta. “Ia lebih cocok tinggal di Kahyangan dan menjadi
salah satu bidadari di sana daripada menjadi manusia di bumi” begitu pikir sang
Raja Alengkadireja. Ada perasaan ingin melindungi wanita cantik itu, meskipun
Ia sadari kini posisinya adalah penculik Sinta. Ia bahkan tak tega menyentuh
wanita yang terlihat suci itu, meskipun ia sangat ingin, karena ia sadar ia
adalah seorang Buto yang hanya
membawa kenajisan bagi wanita seperti Sinta. Semua pelayan yang Ia perintahkan
untuk melayani dan menjaga Sinta adalah wanita. Ia sedikit menyesal telah
mengutus Kala Marica yang buruk rupa seperti dirinya untuk merampas Sinta..
Adakah ia telah jatuh hati kepada Sinta? Pikiran-pikiran membingungkan itu
terus berkecamuk di kepala Rahwana tanpa bisa ia jawab, hingga tanpa sadar ia
telah sampai di tepi samudra.
Rahwana berdiri terdiam. Sejenak ia ragu,
benarkah langkah yang akan diambilnya ini?
Tak perlu waktu lama bagi Rahwana untuk membuat
dirinya menyadari hatinya mutlak telah diliputi cinta kepada Sinta. Tak ada lagi
keraguan, ia memantapkan niatnya untuk mencari bunga ajaib dan menyelamatkan
Sinta.
Bukan sebuah petualangan yang mudah untuk mencari
bunga tersebut. Rahwana memang bisa bertahan di dalam lautan bahkan sampai
dasarnya, tetapi kesaktiannya melemah dan tak sekuat saat berada di darat. Dan
celakalah ia, meskipun tak sulit menemukan keberadaan bunga ajaib (karena telah
dibekali petunjuk tabib) Rahwana harus berhadapan dengan raksasa lautan yang
besarnya 10 kali lipat tubuh Rahwana. Tetapi dengat niat dan ketulusannya
menolong Sinta, Rahwana berhasil mengalahkan raksasa lautan itu dan mendapatkan
bunganya meski harus menderita beberapa luka serius akibat pertempuran dengan
Raksasa lautan.
Rahwana kembali ke Alengka membawa bunga ajaib
yang didapatnya dengan harapan dapat menyelamatkan Sinta. Ia disambut para
saudaranya yang heran melihat pengorbanannya untuk seorang tawanan. Rahwana
berdalih nyawa Sinta penting untuk menaklukan Kerajaan Ayodya.
Sesuai harapan Rahwana, Sinta sembuh berkat bunga
yang ia dapatkan dengan memertaruhkan nyawanya.
“Kau sudah sembuh? Makanlah yang banyak untuk
memulihkan kondisimu,” ucap Rahwana.
“Aku ucapkan terima kasih atas bunga itu, tapi
aku tak kan luluh karena itu,” jawab Sinta, dingin. “Sejujurnya akan lebih baik
bagiku untuk mati sekarang di sini.”
“Mudah bagiku untuk membantumu mewujudkan
keinginanmu itu. Tapi aku tak akan membiarkanmu mati sekarang, aku ingin kau
lebih bisa menghargai hidupmu sendiri dan hidup orang lain. Bukan karena aku
yang memberimu bunga itu, tapi karena aku percaya bukan takdirmu untuk mati
sekarang, di sini.”
“Menghargai hidup katamu? Bagaimana dengan hidup
orang-orang yang telah kau bunuh? Kau menghargainya dengan membunuh mereka?”
Rahwana terlihat menahan kegusarannya dan
meninggalkan Sinta.
Sinta telah berbohong dengan mengatakan dirinya
tak luluh oleh perjuangan Rahwana mendapatkan bunga itu, setidaknya sedikit
bagian hatinya telah tersentuh oleh Rahwana. Ia tahu betul tak mudah
mendapatkan bunga itu, apalagi seorang diri. Dalam hatinya juga bertanya
tentang apa yang memotivasi Rahwana hingga berbuat sejauh itu untuk dirinya.
|
Prabu Rahwana (image source: http://wayang.files.wordpress.com/2010/07/rahwana.jpg) |
...
“Tuan memanggil saya?” tanya Hanoman kepada Rama.
“Iya Hanoman, ada tugas cukup berat yang hendak
kuberikan padamu.”
“Apapun titah Tuan, saya siap laksanakan,” jawab
Hanoman mantap.
...
Sinta tersentak dari lamunannya setelah mendengar suara yang tak asing
baginya memanggilnya.
“Tuan Putri..Tuan, di sini.”
Sinta mencari sumber suara dan mendapati Hanoman
berada di luar jendela kamar tersebut.
“Hanoman? Apa yang kau lakukan di sini? Darimana
kau bisa sampai ke tempat ini?”
“Saya ke sini diutus oleh Prabu untuk
memata-matai Alengka dan melaporkan kondisi Tuan Putri. Sebentar lagi Prabu
Rama akan membawa pasukan ke sini untuk menyelamatkan Tuan Putri sekaligus
menyerang Alengka.”
“Terima kasih Hanoman. Sampaikan pada Rama aku
baik-baik saja di sini, aku bisa menjaga diriku sendiri dan aku akan
menunggunya menjemputku.”
“Baik Tuan Putri, maaf hanya itu yang bisa saya
lakukan karena keadaan tidak memungkinkan untuk saya membawa Tuan Putri
sekarang.”
“Tak apa Hanoman, pergilah sekarang dan
berhati-hati mereka bisa menangkapmu.”
Ucapan Sinta benar, Hanoman tertangkap oleh
Indrajit sebelum sempat kembali melapor kepada Rama. Dia diikat dan diarak ke
alun-alun Alengka untuk dibakar beramai-ramai. Namun karena kegesitannya
Hanoman berhasil melepaskan diri dari ikatan tersebut dan justru membakar
sebagian besar kerajaan Alengka. Dia segera meninggalkan Alengka setelah merasa
cukup untuk membuat kerusuhan di sana.
Tak lama setelah itu Rama membawa seluruh
pasukannya meggempur Alengka. Terjadi peperangan besar dan panjang antara para
ksatria Ayodya beserta pasukan kera melawan para raksasa Alengka. Pihak Rama
berhasil memenangkan pertempuran dan membawa Sinta kembali.
...
Sinta tengah melamun di kamarnya sekembalinya ia
ke Ayodya.
“Permisi tuan putri, ini saya bawakan makanan
untuk tuan putri.”
“Terima kasih mbok, taruh saja di meja itu nanti
aku makan.”
Mbok Parmi mendekati Sinta.“Tuan putri kenapa?
Sejak pulang dari Alengka Tuan putri selalu muram mbok lihat. Bukankah
semestinya Tuan putri senang bisa kembali ke sini bersama Yang Mulia Sri
Rama?”
Sinta mendesah. “Apa gunanya aku kembali ke sini
mbok, kalau sama saja aku harus dikurung dalam kamar ini tanpa boleh keluar?
Kakanda Rama menyuruh banyak pengawal untuk menjaga agar aku tidak keluar dari
sini. Apa bedanya dengan saat aku diculik Rahwana?”
“Jangan begitu Tuan Putri. Yang Mulia melakukan
ini demi kebaikan tuan putri sendiri. Kita semua tahu, Alengka telah
dikalahkan, tetapi Rahwana belum juga ditemukan, entah hidup atau mati. Yang
Mulia masih takut dengan bahaya yang dapat mengancam Tuan Putri.”
“Lalu sampai kapan aku harus diperlakukan tak lebih
dari seekor burung seperti ini? Lagipula kenapa kakanda tidak pernah memanggil
untuk bertemu dengannya? Atau datang ke sini sendiri menemui istrinya ini?”
Kali ini mbok Parmi tidak tahu harus menjawab
apa. Ia sendiri bingung dengan perlakuan Rama terhadap Sinta ini. Air mata
Sinta mengallir dan perlahan menderas. Ia menangis dalam pelukan mbok embannya
tersebut.
...
“Ritual bakar diri Yang Mulia?”
“Iya”
“Yang mulia yakin?”
“Apa aku terlihat bergurau, Patih?”
“Maafkan hamba Yang Mulia. Hamba takut keputusan
ini justru akan menyakiti hati Permaisuri Sinta dan merusak hubungan pribadi
antara Yang mulia dengan permaisuri.”
“Itu urusanku. Laksanakan saja perintahku.”
“Baik Yang Mulia”
...
Mbok Parmi hendak mengantar makanan kepada Sinta
ketika dilihatnya dua orang parjurit yang biasa menjadi pengantar pesan raja
keluar dari bangsal Sinta. Mbok Parmi penasaran apa yang Rama sampaikan pada
istrinya yang telah 4 hari seperti ia acuhkan itu.
Mbok Parmi terkejut mendapati Sinta menangis
sesenggukan di balik bantal. Segera ia menghampiri Sinta.
“Ada apa tuan Putri?”
“Katakan mbok, apa memang cinta sebegini
menyakitkan? Aku sudah menjaga hatiku dengan sumpah setia kepada Kakanda Rama,
tapi mengapa ia abaikan kesetiaanku dan menjawabnya dengan ketidakpercayaan?”
“Apa maksud tuan putri?”
“Kakanda Rama, ia ingin aku melakukan ritual
bakar diri untuk membuktikan kesucian diriku. Ia tak memercayaiku yang telah
menjaga kehormatanku, di Alengka sekalipun.”
Mbok Parmi terkejut “Maaf, tapi ini sudah
keterlaluan menurut hamba tuan putri. Kita semua tahu ritual itu omong kosong
para leluhur kita. Tuan putri akan terbakar walapun benar tuan Putri tidak
seperti yang ditakutkan Yang Mulia Rama. Sekalipun tuan Putri seperti yang dituduhkan
oleh Yang Mulia, dia sepatutnya menerima tuan Putri apa adanya, karena tuan
Putri istrinya.”
Mbok Parmi sudah tidak bisa membohongi dirinya
sendiri dan Sinta, bahwa ia pun jengah dengan sikap Rama terhadap Sinta
belakangan ini. Malah sekarang Rama dengan congkaknya menitahkan hal yang
berbahaya bagi istrinya sendiri. Tapi ia pun bingung harus bagaimana untuk
menolong Sinta karena ini titah Raja.
Mbok Parmi menawarkan diri untuk membantu Sinta
bila ia ingin melarikan diri dari Istana yang sudah bukan lagi rumah baginya
ini.
“Tidak mbok, lebih baik aku mati dalam api itu,
walaupun orang akan melihatku sebagai wanita yang tak suci, daripada hidup
dengan konsekuensi yang sama. Tak ada lagi yang bisa kuharapkan dari hidup ini,
cinta kakanda Rama padaku mungkin telah hilang tertiup angin jaman.”
Mbok Parmi tak bisa mencegah keputusan Sinta itu
meski dalam hati ia ingin menyelamatkan majikan yang telah ia asuh sejak kecil
dengan kasih sayang seperti pada anaknya sendiri tersebut.
“Semoga para dewa kahyangan melindungi Tuan Putri
dalam bara dan api itu,” ucap Mbok Parmi dengan sedih.
...
Di alun-alun kota Ayodya, penduduk berkumpul
untuk ikut menjadi saksi ritual bakar diri Ratu mereka. Beberapa anak kecil dan
remaja serta wanita terlihat menangis menunjukkan simpati dan iba mereka kepada
Sinta. Sedangkan laki-laki dan tetua tampak lebih antusias untuk mengetahui
kebenaran yang akan ditunjukkan dari ritual yang telah puluhan tahu tak pernah
dilakukan lagi itu.
“Maaf Yang Mulia, semua persiapan telah selesai
tinggal menunggu Yang Mulia Sinta hadir di sini.”
“Panggil dia.”
“Baik Yang Mulia.”
Sinta datang dengan pandangan kosong namun
langkahnya tegas. Tak terlihat sedikit pun gurat ketakutan. Sebentar dia melihat
ke arah Rama, bukan untuk mengharap iba, ia tahu iba itu tak lagi ada pada diri
Rama, hanya ingin melihat ekspresi Rama melihat wanita yang dulu susah payah ia
dapatkan dari sayembara itu jatuh dalam bara api yang jahat. Rama hanya terdiam
menjaga wibawanya.
Sampailah Sinta di tepi panggung yang mengarah ke
api pembakaran. Semua yang menyaksikan tak mampu berkata, beberapa bertahan
dalam tangis mereka. Seorang prajurit memberikan aba-aba agar Sinta
segera melompat. Tak ada keraguan dalam hati Sinta yang telah hancur, untuk
melompat dalam bara api. Beberapa wanita menjerit tak tega menyaksikannya.
Kejadian itu sangat cepat. Tapi semua yang
menyaksikan tak meragukan pandangan mata mereka. Tubuh Sinta menghilang, sesaat
setelah dia melompat. Ya, menghilang! Tepat sebelum lidah api menjilat
tubuhnya. Hening sesaat kemudian keributan kecil terjadi. Rama dan beberapa
orang Istana dan warga terpaku. Beberapa orang berpekik “Hidup Sinta! Hidup
Sinta!” kemudian diikuti yang lain.
Rama tak tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan
lugunya, ia memeritahkan semua prajurit untuk mencari Sinta ke seluruh penjuru
Ayodya.
...
“Kau tak apa-apa? Apa aku terlambat mendapatkanmu
tadi?” Rahwana memapah Sinta duduk di sebuah pohon besar.
“Kenapa kau menyelamatkanku?”
“Kenapa? Kau yang kenapa? Kau mau saja menuruti
Rama untuk bakar diri. Itu ritual bodoh. Cintamu pada Rama takkan
menyelamatkanmu dari api itu.”
“Sudah tak ada lagi cinta dalam hatiku. Lagipula
aku memang ingin mati.”
“Mau mati juga harus punya alasan. Jangan
bodoh”
“Kau sendiri? Kau punya alasan menyelamatkanku?
Dan aku ingat, ini bukan yang pertama kalinya.”
“Aku hanya tak suka melihat orang menjadi bodoh
karena cinta.” Rahwana berusaha menutupi perasaannya pada Sinta. Tanpa sadar,
ucapannya justru menyindir dirinya sendiri.
“Aku minta maaf karena telah lancang menyentuhmu.
Tak terpikirkan olehku cara lain untuk menolongmu tadi.”
Sejenak Sinta terdiam. Rahwana menyangka kali ini
Sinta benar-benar marah padanya.
“Kau, kupikir kau sudah mati.”
“Aku memang terkena panah Rama dan hampir mati
saat itu. Tapi ketika Rama mendatangi tubuhku yang telah tumbang tiba-tiba satu
cahaya kilau,entah darimana, menutupi tubuhku hingga kasat mata, lalu membawaku
menjauh dari medan perang itu dan menyelamatkan nyawaku.”
Cerita yang ganjil, tapi Sinta tahu pasti tidak
ada setitik kebohongan pun di dalamnya.
"Saat Rama menyerang kerajaanmu, kau tahu
kau akan kalah karena Wibisana mengkhianatimu, mengapa kau masih berkeras
melawan Rama? Bukankah kau bisa melarikan diri terlebih dahulu?
“Aku menculikmu dengan cara yang memalukan, untuk
menebusnya aku harus mengembalikanmu dengan cara yang ksatria: bertarung
melawan Rama Wijaya. Meskipun kekalahanku tak terelakan lagi, aku harus menghadapi Rama untuk menyempurnakan kisah cintamu dengannya, atau setidaknya, aku bisa memuliakan diriku sendiri sebelum
mati, pikirku saat itu.”
Sinta menatap Rahwana. Bukan tatapan dingin kali
ini. Mata itu diliputi haru dan dihiasi setitik air mata di ujungnya. Ia
bangkit berdiri berjalan ke arah Rahwana dan memeluknya tiba-tiba. Air mata
yang sedari tadi ia bendung kini deras mengalir. Sinta tak dapat menyangkal hati kecilnya, keraguan Rama padanya telah menumbangkan pohon cinta yang telah lama ia jaga. Tapi kini pohon cinta yang lain -yang lebih kokoh- telah tumbuh dari benih ketulusan yang disebarkan Rahwana.
Rahwana tak tahu apa yang terjadi. Ia tak tahu harus
berbuat apa. Ia tak tahu harus berucap apa. Untuk seorang Raja Raksasa, ini
konyol. Rahwana salah tingkah dalam pelukan wanita yang dicintainya.
“Maaf aku selalu bersikap jahat padamu.” Sinta
membuka suara. “Aku selalu berpikiran buruk padamu. Tanpa aku kehendaki justru
kau yang selalu pertaruhkan nyawa untukku. Kau memang bajingan. Kau tak hanya
menculik diriku dari Rama tapi kau juga menculik hatiku darinya. Tubuhku memang
diambil kembali oleh Rama. Tapi hatiku ia tinggalkan di Alengka. Katakanlah
Rahwana. Bahwa kau mencintaiku juga.”
Rahwana tak pandai berucap cinta. Tapi dengan
membalas dekapan Sinta, Sinta tahu pasti jawabnya.
Lalu kisah cinta yang tak
direstui langit ini pun dimulai. Rahwana tinggal di hutan terpencil bersama
Sinta –karena Alengka telah porak poranda-. Hidup tanpa gelar Raja dan Ratu,
hanya sebagai orang biasa yang saling mencinta.
...
Mbok Parmi tengah memasak dengan tungku hitam
tuanya ketika seorang anak kecil berlari ke arahnya. “Nek..nenek, ada surat untuk nenek,” teriaknya.
Mbok Parmi menerima surat daun lontar tersebut.
Awalnya dia agak heran membacanya tapi kemudian senyum mengembang di wajah
keriputnya.
Sambil menutup kembali surat itu, ia bergumam
lirih seraya menatap langit “hati yang tulus adalah hati yang diliput cinta, sekalipun ia terpendam
dalam di dada seorang Rahwana.”
“Apa maksudnya nek?”
Mbok Parmi tersenyum pada cucunya. “Bukan apa-apa.
Makanlah, nasinya sudah matang.”
END