Rabu, 17 Agustus 2016

0

Morgue


Aku sudah hampir 10 tahun bekerja sebagai penjaga kamar mayat ini. Umurku sekarang 30 tahun berarti aku sudah di sini sejak umur 20 tahun. Orang bilang umur 30 adalah umur produktif bagi seorang pria. Tapi tidak bagiku, aku justru terjebak di sini dengan rutinitas yang membosankan, beberapa orang mungkin menyebutnya menakutkan: menjaga mayat, mencatatnya saat masuk dan mencatatnya lagi saat keluar.

Kalian tidak perlu tahu namaku, percuma, orang yang berkenalan denganku biasanya tak akan ingat lagi denganku dalam waktu yang lama. Aku juga tak punya keluarga atau teman. Tak ada orang yang mau berteman denganku dalam waktu lama. Bahkan, mayat-mayat ini, mereka paling lama bersamaku hanya sampai 3 hari untuk kemudian dikremasi atau dikuburkan. 

Aku orang yang suka bercerita. Seringkali aku berbicara pada mayat-mayat di sini: menceritakan hal lucu yang terjadi saat aku bangun tidur atau di minimarket, atau kadang menceritakan pengalaman menakutkanku saat berjalan di pemakaman. Ya, aku masih merasa takut di tempat menyeramkan lainnya. Saat aku selesai bercerita kadang pikiran gilaku berharap mayat-mayat itu memberikan respon: tertawa atau apapun. Aku tak tahu apakah aku sungguh-sungguh berharap atau tidak.

Aku akan menceritakan satu rahasia kecilku pada kalian. Suatu hari, para petugas rumah sakit mengantarkan satu mayat. Seorang wanita cantik dan masih muda, mungkin seumuran denganku (saat itu aku berumur 25 tahun). Itu adalah pengalaman pertamaku bertemu dengan wanita yang sangat cantik dan mati. Aku tak mengingkarinya, aku jatuh cinta, padanya, pada mayat kaku dan dingin. Ini adalah kali kedua aku jatuh cinta. Aku tak akan menceritakan yang pertama, itu cerita klasik. Tapi ini berbeda. Aku yakin hanya sedikit orang yang merasakannya: cinta pada mayat manusia. Ia hanya dititipkan satu malam di sini. Pada siang saat ia diantar aku tak berani berbuat banyak terhadap mayat itu karena beberapa orang mungkin akan masuk ke ruangan ini. Tapi saat menjelang malam aku mengeluarkan mayat tersebut dari kotak pendingin dan dari karung pembungkusnya. Jangan berpikir macam-macam aku mengeluarkannya hanya untuk melihatnya wajahnya, membisikkan kata cinta, dan ehm iya aku akui, aku sempat mencium bibirnya..dua kali. Hanya itu, selebihnya, aku hanya memandanginya sampai pagi. Kemudian hari berikutnya keluarganya menjemput mayat tersebut untuk dikuburkan. Keluarganya menangisi kepergiannya. Begitupun aku.

Apa prologku terlalu panjang? Maaf, sudah kukatakan aku orang yang suka bercerita. Baiklah aku akan mulai menceritakan inti ceritaku ini.

Pagi ini para petugas itu mengantar satu mayat. Seorang pria berbadan besar, berkulit hitam dan rambut ikal. Salah satu petugas itu mengatakan padaku bahwa ia adalah mayat seorang napi yang hari itu hendak dieksekusi mati, tapi saat ia dijemput di selnya subuh hari tadi, petugas penjara menemukan ia sudah dalam kondisi mati tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan di tubuhnya, tidak diketahui penyebab kematiannya, mereka hanya mengira itu serangan jantung. Mereka tidak mengatakan kapan mayat itu akan dijemput kembali. 

Saat para petugas itu keluar ruangan, aku memandangi mayat itu. Huh apa dia mati karena terlalu takut mati? Konyol sekali. Aku menutup karung mayat tersebut dan memasukkan ke kotak pendingin. Aku keluar sebentar untuk membeli sarapan. 

Saat aku kembali semua masih tampak sama. Aku mulai menyantap sarapanku. Kalian terkejut aku makan di kamar mayat? Haha kalian harus mencobanya lain kali. 

Aku tak begitu menikmati sarapanku pagi ini. Beberapa kali aku mendengar suara ketukan lirih. Aku yakin sekali suara itu berasal dari salah satu kotak pendingin mayat itu. Aku mencoba itu mengabaikannya tapi kemudian suara itu membesar menjadi suara gedoran yang cukup kencang dan itu berasal dari kotak pendingin mayat si napi. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, aku terlalu takut, tapi aku coba memberanikan diri membuka kotak tersebut. Saat aku membukanya, aku melihatnya, mayat napi tersebut sudah lepas dari karungnya, mayat itu juga berteriak dan menggeliat untuk keluar. Aku hanya terdiam melihatnya hingga akhirnya ia berhasil keluar dari kotak tersebut. Ia berdiri agak sempoyongan kemudian menegakkan badannya. 

Ia melihatku dan berkata ‘hmm jadi begini rasanya bangkit dari kematian? Aku lapar sekali, boleh aku minta makananmu?’ 

Ia mengambil sepotong ayam dari piringku sebelum aku menjawab pertanyaannya. Aku benar-benar berdiri terpaku di sana tak tahu harus berkata apa. Seusai menghabiskan ayamku dia dengan brutal menerjangku. Dia berhasil mengunci tubuhku kemudian mengeluarkan sebuah alat suntik. 

‘Kau ingin merasakan bagaimana mati suri sepertiku? Suntikan ini akan membuatmu mati selama 5 jam. Aku sudah mencobanya dan berhasil. Aku lolos dari hukuman mati dan sekarang aku dianggap mati, aku akan menjadi orang yang baru dengan nama baru, pekerjaan baru dan alamat baru. Sementara kau, kau akan menggantikan posisiku, kaulah yang akan dikubur di bawah batu nisan bertuliskan namaku yang dulu. Hahaha’

Aku tak tahu apalagi yang terjadi setelah ia menyuntik leherku. Aku tertidur. Atau pingsan? Atau mati? Aku tak tahu. Aku hanya tahu saat itu sangat gelap.

Saat aku tersadar aku sudah terbujur dalam sebuah kotak kayu panjang. Sangat gelap dan sesak. Di antara bau kayu ini aku dapat mencium bau tanah juga. Tunggu apa itu? Aku mendengarnya. Itu..itu, itu nyanyian pemakaman untuk orang meninggal. Apa aku sedang dimakamkan sekarang? Tidak hei, aku belum mati! Aku mencoba menggedor bagian atas kotak itu. Tapi aku tak punya tenaga lagi, nafasku makin sesak. Aku..aku dikubur hidup-hidup. Aku bahkan belum sempat dimasukkan ke kamar mayat? Tidak tidak, aku masih ingin di sana. Aku tak ingin dikubur. Hah-hah, sial nafasku benar-benar habis, aku akan mati. Baiklah sebelum aku benar-benar mati aku berjanji saat nanti aku menjadi roh, aku akan menghantui kamar-kamar mayat di kota ini. 

...

Jadi  kalian tahu sekarang, jika kalian merasa ada yang mengganggu kalian saat berada di kamar mayat, itu bukan hantu mayat-mayat tersebut. Itu aku.

Selasa, 14 Juni 2016

0

El Dia de Los Muertos

“Tinggallah saja di rumah, kau tak akan berani ikut parade itu.”

“Tapi aku ingin sekali mengikutinya, lagi pula Papa dan Mama sedang pergi, aku lebih takut untuk berada di rumah sendiri.” Aku masih tetap memaksa untuk ikut Parade dalam festival kematian.

Festival kematian, atau kami, warga Meksiko, biasa menyebutnya El Dia de Los Muertos adalah festival tahunan di Meksiko yang hampir mirip dengan Haloween di mana orang-orang akan memakai kostum layaknya hantu. Festival ini diadakan setiap tanggal 1 dan 2 november untuk memeringati arwah orang yang telah meninggal. Kami percaya pada tanggal 1 November arwah anak-anak yang telah meninggal akan pulang ke rumahnya dan esoknya pada tanggal 2 November arwah orang dewasa yang pulang ke rumahnya.

Pada malam harinya orang-orang akan mengadakan parade keliling kota dengan kostum hantunya dan berakhir di pemakaman untuk mendoakan masing-masing anggota keluarga yang telah meninggal. Usiaku 13 tahun, dan aku sama sekali belum pernah mengikuti parade itu. Aku hanya diam di rumah ditemani Mamaku. Hanya Papaku dan kakakku, Naolin, yang rutin mengikutinya. Tetapi tahun ini aku sangat ingin mengikutinya, karena tahun lalu aku tak punya cerita seperti teman-temanku yang sudah berani mengikuti parade itu untuk pertama kalinya.

“Baiklah, tapi aku harus ke temanku dulu untuk menjemputnya, kau berdandanlah dulu, jangan pakai piyamamu, orang-orang tak akan takut dengan itu.” Naolin akhirnya luluh untuk mengijinkanku ikut dengannya di parade itu. Naolin pun pergi.

Aku berjalan menuju meja rias Mama. Ada banyak alat rias di sana. Aku gugup sekali. Aku belum pernah merias mukaku. Apalagi dengan riasan seram.

10 menit berikutnya aku tenggelam dalam keasikan merias mukaku menjadi seperti hantu. Tidak terlalu buruk. Aku sendiri merasa takut melihat bayanganku di cermin. Tapi mungkin Naolin akan tertawa melihatnya. Aku melihat bayangan seseorang menuju pintu depan rumahku. Kuintip melalui jendela, ah itu di dia Naolin sudah pulang. Bergegas aku menuju pintu depan untuk menyambut kakakku.

Tebakanku salah. Naolin sama sekali tak tertawa melihat mukaku. Justru aku yang terkejut dengan mukanya. Seingatku tadi dia tak memakai riasan luka dan darah di keningnya.

“Kau menambahkan luka dan darah itu sendiri? Apa temanmu yang membantumu?” tanyaku.

“Aku membuatnya sendiri.”

“Lalu mana temanmu?”

“Dia, tidak ikut.”

“Kita berangkat sekarang?”

Naolin mengangguk pelan kemudian berjalan ke jalan mendahului.

“Tunggu, aku ingin mengambil ponselku dulu.” Aku berlari mengejar Naolin setelah mengambil ponselku dan menutup pintu rumah.

Parade sudah berjalan di depan komplek rumah kami. Kami langsung membaur dengan orang-orang yang juga berdandan hantu seperti kami. Semuanya tampak menikmatinya. Kecuali Naolin, dia tampak diam saja. Apa dia kecewa temannya tak jadi ikut? Atau dia kesal karena harus mengajakku?

Aku banyak mengambil gambar orang-orang dalam parade itu. Semua itu agar aku bisa menceritakan ke teman-teman sekolahku. Aku secara diam-diam mengambil foto selfie diriku dan Naolin. Sial, Naolin seram sekali. Kukirim gambar itu ke salah satu temanku. Kukira dia akan marah karena ketakutan dengan muka kakakku tapi dia justru membalas chatku dengan tertawa karena riasan mukaku.

Sekitar 40 menit kemudian. Sebuah panggilan masuk ke ponselku. Dari ibuku ternyata. 

“Halo Ma?”

“Javier, kamu di mana?” suara mama agak serak dan berat. Tanpa menggu jawabanku Mama melanjutkan “kakakmu,Naolin kecelakaan satu jam yang lalu, dia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Mama sekarang sudah di rumah sakitnya. Papamu sedang dalam perjalanan ke rumah menjemputmu. Kamu tunggu ya sayang.”

Telepon langsung terputus saat itu juga entah karena apa. Aku tak terlalu memikirkan telepon itu. Yang kupikirkan saat itu juga adalah orang yang saat ini kugandeng tangannya selama 40 menit dalam parade. Orang yang aku yakin adalah kakakku. Kakakku yang mama bilang meninggal satu jam yang lalu. Dan aku baru menyadarinya: tangan yang daritadi kugenggam terasa dingin sekali.

Aku berhenti berjalan. Kakiku kaku sekali. Tanganku gemetaran.
‘Kakakku’ menoleh ke arahku dan berkata “Kau ingin berhenti?” lalu berjalan dan menarik tanganku agar aku tetap berjalan. 

Aku tak tahu harus bagaimana sampai saat orang di belakangku menepukku dan berkata “Adek kecil? Kenapa sendirian? Mana Papa Mamamu?”

...





Jumat, 13 Mei 2016

0

Chloe

Chloe,kami menamainya demikian. Tidak jelas siapa pemiliknya. Dia sudah sekitar 4 bulan di rumah sakit ini. Semua dokter dan perawat,bahkan para pasien, menyukainya karena kucing ini bersih dan begitu lucu. Tapi sekitar sebulan yang lalu para perawat menyadari Chloe bukan kucing yang biasa. Chloe dianggap memiliki kemampuan untuk mengetahui waktu kematian seseorang.

Hal itu pertama kali disadari oleh Jane, perawat senior disini yang melihat Chloe selalu menemani Tuan Hideki di kamarnya selama seminggu sebelum kemudian Tuan Hideki meninggal. Lalu hal yang sama persis terulang pada pasien yang berbeda. Si kecil Tomy, Gareth, Tuan Christoper, dan kejadian terakhir pada gadis muda Lucy.

Perawat lain yang semula tak memercayainya harus mengakui bahwa Chloe memang memiliki kemampuan seperti itu. Tetapi kami tutup mulut mengenai berita tersebut kepada para pasien dan keluarga mereka agar tak terjadi keributan di rumah sakit ini.
Berulang kali para perawat menjauhkan Chloe dari rumah sakit ini tetapi dia selalu saja berhasil kembali dalam waktu tak lebih dari dua hari.

Sedangkan aku, sebagai dokter kepala di rumah sakit ini, hanya bisa tersenyum, bahkan tertawa dalam hati, terhadap berita kemampuan ajain Chloe tersebut. Karena memang itu bukan sesuatu yang ajaib. Chloe mendatangi setiap pasien yang hendak meninggal bukan karena memiliki kemampuan khusus seperti itu. Dia melakukannya karena indera penciumannya peka terhadap suatu zat dalam obat yang secara diam-diam diberikan kepada para pasien itu untuk membuatnya meninggal.

Hal itu dilakukan oleh beberapa dokter dengan aku sebagai penanggungjawab dan pengawasnya. Kami melakukannya karena kami juga menerima permintaan rahasia dari beberapa pihak, biasanya keluarga pasien, agar membuat si pasien tersebut meninggal. Terdengar ilegal dan jahat memang, tapi dari situlah uang mengalir untuk rumah sakit ini. Kami memberikan obat tersebut melalui air minum yang diberikan rutin kepada pasien. Karena obat tersebut tidak berwarna, berasa, dan berbau saat larut dalam air maka tak ada yang menyadarinya. Hanya kucinglah yang tahu dan tertarik pada bau zat kimia ini bahkan setelah masuk ke tubuh pasien.

Awalnya aku panik saat mengetahuinya tetapi saat isu kemampuan khusus Chloe tersebut menyebar di antara para perawat hal itu menjadi sedikit hiburan bagiku dan dokter lain yang mengetahui kenyataan sebenarnya.
Pagi ini saja aku masih tersenyum sendiri saat memikirkannya apalagi saat melihat Chloe menjilati kakiku.

Tunggu, ngomong-ngomong soal Chloe, aku baru menyadari bahwa dari 4 hari yang lalu Chloe selalu ada di ruanganku ini dan mengikuti kemanapun aku pergi..

Jumat, 15 April 2016

0

Lethal Injection

Mereka menerapkan suntik mati sebagai prosedur eksekusi untuk hukuman mati disini. Mereka bilang itu tidak menyakitkan sama sekali, justru menenangkan bagi terpidana. Tapi siapa tahu? Pembunuh paling kejam pun bisa bilang bahwa ia membunuh tanpa membuat korbannya kesakitan.

Seminggu lalu aku berduka. Salah seorang teman dekatku di fasilitas lembaga pemasyarakatan ini menjalani eksekusi mati. Seperti biasa, mereka menjemput terpidana secara diam-diam tepat tengah malam saat semua penghuni penjara tertidur. Terpidana lain baru menyadari keesokan harinya saat dia tidak ada di selnya lagi. 

Tetapi aku tidak mau terlalu lama larut dalam duka. Lagipula sebelumnya temanku tersebut mengatakan telah siap untuk mati meski dia juga takut untuk menjalani proses eksekusinya. Aku beruntung karena vonis hukumanku jauh lebih ringan darinya (aku mendapat hukuman 20 tahun penjara). 

Hari berikutnya lapas kami kedatangan seorang narapidana baru. Dia memberontak saat diseret ke selnya yang bernomor 54. Dia meneriaki sipir bahwa polisi telah salah menangkapnya. “Aku bukan John, kau harus percaya aku, bukan aku yang membunuh wanita itu, polisi salah tangkap terhadapku!” begitu teriaknya. Tapi teriakan itu kemudian berhenti saat seorang sipir membiusnya agar tertidur.

John, aku menyebutnya John karena para sipir memanggilnya begitu meski dia masih bersikukuh dirinya bukan John. John seorang pendiam dan penyendiri, dia tak pernah mau berbicara kepada siapapun bahkan setelah 5 hari dia disini.

Hari ini John dipanggil ke persidangan untuk menjalani sidang putusan vonis bagi dirinya. Kami tahu dari sipir bahwa dia mendapat vonis hukuman mati. Saat kembali diseret ke selnya dia kembali memberontak seperti saat pertama ia datang. Tapi kali ini tak perlu obat bius untuk membuatnya bungkam. Begitu masuk ke selnya dia tampak terdiam dan berpikir serius. Meski tak dekat dengannya, aku begitu kasihan melihatnya tertekan seperti itu.Pukul 8.00 malam lampu penjara sudah dimatikan, itu artinya kami para tahanan harus tidur. Aku masih memikirkan tentang John sebelum akhirnya tertidur.

Aku terkejut dan terbangun dari tidurku saat kurasakan beberapa orang masuk ke selku. Dua orang menyeret tubuhku keluar sel, satu orang membungkam mulutku, dan seorang lagi memberi komando pada 3 orang tersebut. 2 orang yang menyeretku begitu kuat sehingga aku tak berkutik. Saat dibawa paksa keluar dari selku aku melihat sekilas seperti ada sesuatu yang ganjil dari pintu selku tapi aku tak bisa memikirkannya karena aku masih berusaha melepaskan diri dari orang-orang ini. 

4 orang tersebut membawaku ke sebuah mobil tahanan dan memborgolku di dalamnya. “Siapa kalian?“tanyaku begitu penutup mulutku dilepas. 

“Kami hanya petugas yang diminta menjemputmu untuk menjalani vonis hukumanmu.” 

“Hukuman apa? Aku hanya dihukum 20 tahun penjara.”

“Kau sudah lupa vonismu tadi siang, John?”

“John? Hei aku bukan John, kalian salah orang.”

“Huh, para sipir itu benar tentangmu, kau selalu tak mau mengakui dirimu sendiri. Tenangkan dirimu John, ini tak akan menyakitkan.”

“Bukan seperti itu, aku memang bukan John. John yang sebenarnya masih ada di penjara itu.” Mereka tak menjawab lagi tetapi seorang dari mereka memukul kepalaku hingga aku tak sadarkan diri.
...
Aku terbangun saat mendengar sebuah teriakan yang cukup keras seperti seorang kesakitan. Aku langsung menyadari saat ini aku dalam kondisi terikat di sebuah ranjang putih. Beberapa orang dengan jas putih khas dokter berada di sekelilingku. “Napi sebelah berteriak kencang hingga membuatnya terbangun” kata seseorang pada yang lainnya. “Hai John, jangan khawatir teriakan itu hanya reaksi terkejut dari orang itu karena tertusuk jarum. Tetapi bukan berarti suntik mati ini tidak menyakitkan, kau akan sangat merasakan sakit hingga kau tak bisa berteriak. Dan rahasia ini tentu hanya kami katakan kepada napi yang siap dieksekusi sepertimu John. Kau ingin lebih tau tentang rasa sakitnya? Dokter Albert akan menjelaskan kepadamu. Silakan dok.”

Seorang dokter memegang jarum suntik dan mengisinya dengan cairan hijau kehitaman yang pekat, sambil berkata kepadaku  “Pada menit-menit awal kau akan merasakan pusing yang amat sangat seperti akan membuat kepalamu pecah. Kemudian jantungmu akan berdetak kencang dan memompa darahmu secara cepat. Menit ke sepuluh semua panca indera akan berhenti berfungsi dan kau akan merasakan mual dan perih yang luar biasa di perutmu. Kondisi itu akan bertahan sampai 10 menit berikutnya sampai kau merasakan sesak nafas karena penurunan kerja paru-paru dan  suhu tubuhmu naik drastis hingga kau merasa seperti terbakar. Lalu akhirnya dalam setengah jam kau akan mati saat jantungmu meledak dan membuat darah keluar dari mulut,hidung, mata, dan telingamu.. Sekarang kau sudah siap? Pesan terakhir mungkin?”

“Aku bukan John..”

Mereka tertawa “John ataupun bukan, kau sudah di sini dan kau sudah mendengar rahasia kami. Maaf tuan-bukan-john, kami tak punya alasan untuk membatalkan suntik mati ini.” Dokter sialan itu menyuntik di lenganku. Sebelum aku benar-benar merasakan sakit yang telah diceritakan, aku menyadari keganjilan pada pintu selku yang kulihat saat aku diseret kesini. Aku melihat nomor pintu selku bukan nomor selku yang seharusnya, melainkan nomor ‘54’. Bagaimana itu bisa terjadi? Aku tak bisa memikikan hal itu lebih jauh lagi karena kepalaku mulai pusing..sial, mereka tak berbohong tentang sakit itu..