“Tinggallah saja di rumah, kau tak akan berani ikut parade
itu.”
“Tapi aku ingin sekali mengikutinya, lagi pula Papa dan Mama
sedang pergi, aku lebih takut untuk berada di rumah sendiri.” Aku masih tetap
memaksa untuk ikut Parade dalam festival kematian.
Festival kematian, atau kami, warga Meksiko, biasa
menyebutnya El Dia de Los Muertos adalah festival tahunan di Meksiko yang
hampir mirip dengan Haloween di mana orang-orang akan memakai kostum layaknya
hantu. Festival ini diadakan setiap tanggal 1 dan 2 november untuk memeringati
arwah orang yang telah meninggal. Kami percaya pada tanggal 1 November arwah
anak-anak yang telah meninggal akan pulang ke rumahnya dan esoknya pada tanggal
2 November arwah orang dewasa yang pulang ke rumahnya.
Pada malam harinya orang-orang akan mengadakan parade keliling
kota dengan kostum hantunya dan berakhir di pemakaman untuk mendoakan
masing-masing anggota keluarga yang telah meninggal. Usiaku 13 tahun, dan aku
sama sekali belum pernah mengikuti parade itu. Aku hanya diam di rumah ditemani
Mamaku. Hanya Papaku dan kakakku, Naolin, yang rutin mengikutinya. Tetapi tahun
ini aku sangat ingin mengikutinya, karena tahun lalu aku tak punya cerita
seperti teman-temanku yang sudah berani mengikuti parade itu untuk pertama
kalinya.
“Baiklah, tapi aku harus ke temanku dulu untuk menjemputnya,
kau berdandanlah dulu, jangan pakai piyamamu, orang-orang tak akan takut dengan
itu.” Naolin akhirnya luluh untuk mengijinkanku ikut dengannya di parade itu.
Naolin pun pergi.
Aku berjalan menuju meja rias Mama. Ada banyak alat rias di
sana. Aku gugup sekali. Aku belum pernah merias mukaku. Apalagi dengan riasan
seram.
10 menit berikutnya aku tenggelam dalam keasikan merias
mukaku menjadi seperti hantu. Tidak terlalu buruk. Aku sendiri merasa takut
melihat bayanganku di cermin. Tapi mungkin Naolin akan tertawa melihatnya. Aku
melihat bayangan seseorang menuju pintu depan rumahku. Kuintip melalui jendela,
ah itu di dia Naolin sudah pulang. Bergegas aku menuju pintu depan untuk
menyambut kakakku.
Tebakanku salah. Naolin sama sekali tak tertawa melihat
mukaku. Justru aku yang terkejut dengan mukanya. Seingatku tadi dia tak memakai
riasan luka dan darah di keningnya.
“Kau menambahkan luka dan darah itu sendiri? Apa temanmu
yang membantumu?” tanyaku.
“Aku membuatnya sendiri.”
“Lalu mana temanmu?”
“Dia, tidak ikut.”
“Kita berangkat sekarang?”
Naolin mengangguk pelan kemudian berjalan ke jalan
mendahului.
“Tunggu, aku ingin mengambil ponselku dulu.” Aku berlari
mengejar Naolin setelah mengambil ponselku dan menutup pintu rumah.
Parade sudah berjalan di depan komplek rumah kami. Kami langsung
membaur dengan orang-orang yang juga berdandan hantu seperti kami. Semuanya tampak
menikmatinya. Kecuali Naolin, dia tampak diam saja. Apa dia kecewa temannya tak
jadi ikut? Atau dia kesal karena harus mengajakku?
Aku banyak mengambil gambar orang-orang dalam parade itu.
Semua itu agar aku bisa menceritakan ke teman-teman sekolahku. Aku secara
diam-diam mengambil foto selfie diriku dan Naolin. Sial, Naolin seram sekali. Kukirim
gambar itu ke salah satu temanku. Kukira dia akan marah karena ketakutan dengan
muka kakakku tapi dia justru membalas chatku dengan tertawa karena riasan
mukaku.
Sekitar 40 menit kemudian. Sebuah panggilan masuk ke
ponselku. Dari ibuku ternyata.
“Halo Ma?”
“Javier, kamu di mana?” suara mama agak serak dan berat.
Tanpa menggu jawabanku Mama melanjutkan “kakakmu,Naolin kecelakaan satu jam
yang lalu, dia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Mama sekarang sudah
di rumah sakitnya. Papamu sedang dalam perjalanan ke rumah menjemputmu. Kamu tunggu
ya sayang.”
Telepon langsung terputus saat itu juga entah karena apa. Aku
tak terlalu memikirkan telepon itu. Yang kupikirkan saat itu juga adalah orang
yang saat ini kugandeng tangannya selama 40 menit dalam parade. Orang yang aku
yakin adalah kakakku. Kakakku yang mama bilang meninggal satu jam yang lalu. Dan
aku baru menyadarinya: tangan yang daritadi kugenggam terasa dingin sekali.
Aku berhenti berjalan. Kakiku kaku sekali. Tanganku gemetaran.
‘Kakakku’ menoleh ke arahku dan berkata “Kau ingin berhenti?”
lalu berjalan dan menarik tanganku agar aku tetap berjalan.
Aku tak tahu harus
bagaimana sampai saat orang di belakangku menepukku dan berkata “Adek kecil?
Kenapa sendirian? Mana Papa Mamamu?”
...