Selasa, 14 Juni 2016

0

El Dia de Los Muertos

“Tinggallah saja di rumah, kau tak akan berani ikut parade itu.”

“Tapi aku ingin sekali mengikutinya, lagi pula Papa dan Mama sedang pergi, aku lebih takut untuk berada di rumah sendiri.” Aku masih tetap memaksa untuk ikut Parade dalam festival kematian.

Festival kematian, atau kami, warga Meksiko, biasa menyebutnya El Dia de Los Muertos adalah festival tahunan di Meksiko yang hampir mirip dengan Haloween di mana orang-orang akan memakai kostum layaknya hantu. Festival ini diadakan setiap tanggal 1 dan 2 november untuk memeringati arwah orang yang telah meninggal. Kami percaya pada tanggal 1 November arwah anak-anak yang telah meninggal akan pulang ke rumahnya dan esoknya pada tanggal 2 November arwah orang dewasa yang pulang ke rumahnya.

Pada malam harinya orang-orang akan mengadakan parade keliling kota dengan kostum hantunya dan berakhir di pemakaman untuk mendoakan masing-masing anggota keluarga yang telah meninggal. Usiaku 13 tahun, dan aku sama sekali belum pernah mengikuti parade itu. Aku hanya diam di rumah ditemani Mamaku. Hanya Papaku dan kakakku, Naolin, yang rutin mengikutinya. Tetapi tahun ini aku sangat ingin mengikutinya, karena tahun lalu aku tak punya cerita seperti teman-temanku yang sudah berani mengikuti parade itu untuk pertama kalinya.

“Baiklah, tapi aku harus ke temanku dulu untuk menjemputnya, kau berdandanlah dulu, jangan pakai piyamamu, orang-orang tak akan takut dengan itu.” Naolin akhirnya luluh untuk mengijinkanku ikut dengannya di parade itu. Naolin pun pergi.

Aku berjalan menuju meja rias Mama. Ada banyak alat rias di sana. Aku gugup sekali. Aku belum pernah merias mukaku. Apalagi dengan riasan seram.

10 menit berikutnya aku tenggelam dalam keasikan merias mukaku menjadi seperti hantu. Tidak terlalu buruk. Aku sendiri merasa takut melihat bayanganku di cermin. Tapi mungkin Naolin akan tertawa melihatnya. Aku melihat bayangan seseorang menuju pintu depan rumahku. Kuintip melalui jendela, ah itu di dia Naolin sudah pulang. Bergegas aku menuju pintu depan untuk menyambut kakakku.

Tebakanku salah. Naolin sama sekali tak tertawa melihat mukaku. Justru aku yang terkejut dengan mukanya. Seingatku tadi dia tak memakai riasan luka dan darah di keningnya.

“Kau menambahkan luka dan darah itu sendiri? Apa temanmu yang membantumu?” tanyaku.

“Aku membuatnya sendiri.”

“Lalu mana temanmu?”

“Dia, tidak ikut.”

“Kita berangkat sekarang?”

Naolin mengangguk pelan kemudian berjalan ke jalan mendahului.

“Tunggu, aku ingin mengambil ponselku dulu.” Aku berlari mengejar Naolin setelah mengambil ponselku dan menutup pintu rumah.

Parade sudah berjalan di depan komplek rumah kami. Kami langsung membaur dengan orang-orang yang juga berdandan hantu seperti kami. Semuanya tampak menikmatinya. Kecuali Naolin, dia tampak diam saja. Apa dia kecewa temannya tak jadi ikut? Atau dia kesal karena harus mengajakku?

Aku banyak mengambil gambar orang-orang dalam parade itu. Semua itu agar aku bisa menceritakan ke teman-teman sekolahku. Aku secara diam-diam mengambil foto selfie diriku dan Naolin. Sial, Naolin seram sekali. Kukirim gambar itu ke salah satu temanku. Kukira dia akan marah karena ketakutan dengan muka kakakku tapi dia justru membalas chatku dengan tertawa karena riasan mukaku.

Sekitar 40 menit kemudian. Sebuah panggilan masuk ke ponselku. Dari ibuku ternyata. 

“Halo Ma?”

“Javier, kamu di mana?” suara mama agak serak dan berat. Tanpa menggu jawabanku Mama melanjutkan “kakakmu,Naolin kecelakaan satu jam yang lalu, dia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Mama sekarang sudah di rumah sakitnya. Papamu sedang dalam perjalanan ke rumah menjemputmu. Kamu tunggu ya sayang.”

Telepon langsung terputus saat itu juga entah karena apa. Aku tak terlalu memikirkan telepon itu. Yang kupikirkan saat itu juga adalah orang yang saat ini kugandeng tangannya selama 40 menit dalam parade. Orang yang aku yakin adalah kakakku. Kakakku yang mama bilang meninggal satu jam yang lalu. Dan aku baru menyadarinya: tangan yang daritadi kugenggam terasa dingin sekali.

Aku berhenti berjalan. Kakiku kaku sekali. Tanganku gemetaran.
‘Kakakku’ menoleh ke arahku dan berkata “Kau ingin berhenti?” lalu berjalan dan menarik tanganku agar aku tetap berjalan. 

Aku tak tahu harus bagaimana sampai saat orang di belakangku menepukku dan berkata “Adek kecil? Kenapa sendirian? Mana Papa Mamamu?”

...